Suatu hari terjadi dialog antara angin
sepoi-sepoi dengari angin kericang. Dengan sombongnya angin kencang berkata
bahwa dialah yang paling hebat dan kuat. Angin sepoi-sepoi menasehatinya agar
jangan berlaku somborig. Namun angin kencang tidak menerima nasehat angin
Sepoi-sepoi bahkan menantang duel dan saling mempertunjukkan kebolehannya
masing-masing. Akhirnya angin sepoi-sepoi mengajak angin kencang membuktikan
omongannya dengan cara menjatuhkan seekor kera yang sedang bergelayutan di dahan
sebuah pohon.
Ketika angin kencang beraksi meniupkan
anginnya yang kencang, seketika si kera tadi mendekap dahan pohon dengan sangat
kuat dan erat. Semakin angin kencang menerpa dirinya, pegangan si kera pada
pohon semakin kuat. Demikian seterusnya sampai akhirnya si angin kencang
menyerah, ia tak mampu menjatuhkan si kera dan atas pohon. Kini giliran angin
sepoi-sepoi herhembus lembut menerpa kera. Mula-mula si kera berpegang pada
pohon itu, tetapi karena hembusan angin sepoi-sepoi dirasakannya menyegarkan dan
lembut akhirnya membuat si kera menjadi mengantuk. Maka lama-kelamaan seiring
dengan hembusan angin sepoi-sepoi yang semakin lembut dengan tanpa kekerasan
sama sekali si kera terjatuh ke tanah karena ia tertidur yang menyebabkan
lepasnya pegangan tangannya pada pohon itu.
Begitulah sebaiknya seorang da’i bersikap. Dahulukan kelembutan
daripada kekerasan. Kelembutan biasanya menghasilkan kebaikan, akan banyak
manusia yang tertarik dengan usaha da’wah. Namun kelembutan di sini bukan berarti kita
penakut. Kekerasan adalah penyebab hilangnya wibawa
dan pada keadaan lain dapat menyebabkan hidayah tertutup. Sebaiknya yang
harusnya ada pada jiwa seorang da’i adalah tegas yang tidak berarti
kasar!