Kisah ini berlaku di masa hayat Syaikh Umar
Palanpuri rohimahulloh. Suatu ketika ada seorang lelaki yang mengadukan
masalahnya kepada Syaikh Umar, lelaki ini sedang diuji oleh Alloh dengan sakit
parah yang diderita oleh ayah serta istrinya, sementara dia tiada memiliki uang
untuk membiayai pengobatan mereka, maka dia datang kepada Syaikh untuk meminta
nasihat.
Syaikh Umar adalah seorang Ulama yang memiliki
kerisauan umat yang tinggi, sehingga risau tersebut merasuk dalam setiap bayan
beliau. Bayan yang beliau sampaikan memiliki kesan ruhani yang kuat bagi para
pendengarnya, bahkan banyak yang mengalirkan airmatanya saat mendengarkan bayan
beliau. Beliau dikenal dengan sebutan Lisaanud-dakwah (The Tongue of
Dakwah)
Sangat terasa betapa hebat kekuatan ruhiyah
dari bayan beliau.Di Ijtima Indonesia 1995 atau 1996 di Ancol, saat itu beliau
baru menyampaikan muqoddimah bayan dengan membaca QS. Thoha: 124-126 (Dan
barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.
Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, Mengapa Engkau menghimpunkan Aku dalam keadaan buta,
padahal Aku dahulunya adalah seorang yang melihat?". Allah berfirman:
"Demikianlah, Telah datang kepadamu ayat-ayat kami, Maka kamu melupakannya, dan
begitu (pula) pada hari Ini kamupun dilupakan"). Saat itu kami para mustami’in
tersedu sedan mendengar beliau membaca ayat-ayat tersebut.
Saat mendengar permasalahan yang disampaikan
laki-laki itu, syaikh menasihatkan agar lelaki itu keluar berdakwah selama 4
bulan fi sabilillah. Lelaki itu mengatakan bahwa dia tiada memiliki bekal. Maka
syaikh telah mentarghib lelaki itu agar pulang melihat lebih teliti lagi apa
yang dimilikinya. Setelah melihat apa yang ada di rumahnya, maka dengan perasaan
sedih dia kembali kepada syaikh karena dia tiada memiliki apa-apa kecuali hanya
seekor ayam betina yang sedang bertelur, saat itu jumlah telurnya 8
butir.
Syaikh menasihatkan agar 8 telur itu dijual,
separuh hasilnya dipakai untuk bekal 4 bulan, separuh lagi untuk ditinggalkan
bagi keluarganya. Lelaki ini pun sami’a wa atho’a, maka dibawanyalah 8 telur ke
toko terdekat dengan maksud menjualnya. Tetapi saat itu pemilik toko hanya
memiliki uang cash yang cukup untuk membayar 4 butir telur, sehingga dia
menjanjikan bahwa keluarga lelaki itu boleh mengambil sisa pembayaran 4 telur
pada waktu-waktu selanjutnya, dan lelaki itupun sepakat. Maka berangkatlah dia
berdakwah dengan bekal uang penjualan 4 butir telor dan tidak meninggalkan uang
cash sama sekali bagi keluarganya.
Singkat cerita, lelaki itu pun selesai dari
tugas dakwahnya dan kembali ke Markaz Nizhamuddin untuk menerima bayan wabsy.
Tetapi selesai wabsy, dia tidak juga kembali ke keluarganya, dia tetap berada di
markaz sambil berdoa menangis-nangis. Saat ditanya mengapa dia tidak pulang, dia
menjawab bahwa dia khawatir barangkali ayah dan istrinya yang sakit parah saat
ditinggalkannya telah meninggal. Itulah yang membuatnya tidak berani pulang.
Syaikh menasihatinya agar tetap pulang, maka dia pun dengan berat hati dan
berdebar-debar melangkah menuju kampung halamannya.
Semakin dekat ke rumahnya debaran jantungnya
semakin kencang, hingga saat mendekati halaman rumahnya dia dikejutkan oleh
suara tawa ceria anak-anaknya yang sedang bermain gembira, dia melihat
anak-anaknya sehat, segar bahkan lebih gemuk dari saat kepergiannya. Dipeluknya
anak-anak itu dengan air mata berlinang seraya dengan penuh kekhawatiran
menanyakan bagaimana hal ibu dan kakek mereka. Betapa terperanjatnya dia begitu
mendengar bahwa istri dan ayahnya ternyata telah sembuh. ALLOHU AKBAR…Sungguh
Alloh tiada memungkiri janji-Nya bahwa Dia pasti menolong orang-orang yang mau
menolong agamaNya.
Ternyata Alloh memberikan keberkahan bagi
keluarganya melalui telur-telur yang ditinggalkannya terhutang oleh pemilik
toko. Setiap hari datanglah keluarganya mengambil hasil dari penjualan 4 butir
telur tersebut, tetapi setiap hari telur-telur itu dijual, keesokan harinya
telur kembali ke jumlah semula, yakni 4 butir, begitulah setiap hari uang hasil
penjualannya diambil dan setiap hari pula telur-telur itu kembali utuh
jumlahnya.
(Diceritakan di Markaz Dakwah Jogja, Kamis 29
April 2010 oleh Akhuna Muhammad Fajar Auliya yang baru pulang dari
India)