Dalam setiap bayan ini yang Allah mau adalah
bukan hanya mendengarkan tetapi juga dilakukan atau diamalkan. Kita dengarkan
lalu kita amalkan, ini yang Allah mau. Di dalam Al Quran Allah menyindir bahwa
mereka mengatakan, “Kami mendengarkan”, padahal mereka tidak mendengarkan. Ilmu
itu tuntutannya adalah taat pada Allah. Oleh karena itulah hakekat mendengarkan
ini adalah bagaimana semua yang kita dengarkan ada dalam kehidupan kita. Yang
kita dengar ini bukan untuk pengetahuan, tetapi untuk diamalkan. Apa yang
didengarkan untuk diamalkan. Sering kali kita lakukan, melewatkan kesempatan
untuk beramal, padahal kita tahu fadhilahnya besar. Jadi lewat begitu saja
kesempatan untuk beramal. Ataupun kita beramal tetapi kita tidak tahu
fadhilahnya, ini sayang sekali. Contoh hari ini adalah hari jum’at apa fadhilahnya :
Mandi Jumat
Mandi jumat ini akan mengeluarkan dosa-dosa
kita dari ujung rambut-rambut kita yang tumbuh, bahkan dari akar-akarnya rambut
atau bulu-bulu kita akan keluar juga. Padahal akar-akar rambut ini tidak
mengeluarkan dosa, namun kalaupun ada akan keluar juga dosa-dosa kita
berguguran.
Kita sudah lakukan ini semua, tetapi
fadhilahnya kita tidak tahu. Amal yang dilakukan tanpa Fadhilah tidak akan ada
Ihtisab. Ihtisab itu apa ? yaitu harapan pada Allah. Kita melakukan suatu
amalan, tetapi tidak memperhatikan fadhilahnya, maka ini hanya akan menjadi adat
saja, kebiasaan saja. Jadi kita beramal karena suasana saja, kita terbawa oleh
suasana saja, tanpa Ihtisab. Kita sedang sholat, tiba-tiba ada non-muslim
mengikuti kita ikut sholat berjamaah. Kita tanya, “kenapa kamu ikut sholat
berjamaah?” dia jawab, “Saya ingin melakukan apa yang kamu lakukan.” Begitu saja
jawabannya, tanpa memahami maksudnya dan fadhilahnya. Ini namanya terbawa
suasana. Jadi bukan seperti ini yang diinginkan, beramal karena adat ataupun
karena terbawa suasana. Yang kita inginkan adalah bagaimana orang itu beramal
bukan karena adat atau kebiasaan ataupun karena terbawa suasana. Namun yang kita
inginkan adalah merubah semua yang tadinya hanya adat atau kebiasaan menjadi
Ibadah. Bagaimana merubah adat atau kebiasaan menjadi ibadah ? yaitu dengan
menghadirkan Ihtisab, Ikhlas, dan Ihsan.
Ibadah harus dilakukan dengan sifat, apa
sifatnya : Ihtisab, Ikhlas, dan Ihsan. Inilah sifat ibadah. Jadi dalam beribadah
harus ada pengharapan, keikhlasan dan ihsan. Apa itu ihsan ? bagaimana seseorang
yang melakukan amal ini didalamnya ada Allah. Setiap beramal merasa melihat
Allah. Setiap beramal pandangan hanya kepada Allah Swt, ini nantinya akan
mendatangkan khusyu. Ini akan mempercantik daripada amalan kita. Seorang
mengatakan ingin bertemu dengan Allah. Maka untuk dapat mencapai itu, dalam
ibadahnya hendaknya dia jangan sekutukan sesuatu dengan Allah Swt. Apabila orang
keliling dunia dia ingin mendapatkan Allah Swt. Ibadah dan Amal itu semua akan
mendatangkan kedekatan dengan Allah Swt, selama itu ada ketawajjuhan kepada
Allah Swt. Dengan tawajjuh kepada Allah Swt dalam setiap ibadah maka ini semua
akan menjadi Dzikir. Apabila dalam ibadah tidak ada tawajjuh kepada Allah Swt
maka akan ada Goflah. Ibadah-ibadahnya menjadi Goflah tanpa ketawajjuhan,
menjadi kebiasaan. Amal dilakukan seharusnya menjadi ibadah bukan menjadi
kebiasaan. Maka perlu sebelum kita melakukan amal, hadirkan fadhilahnya. Lalu
kalau mau melakukan dosa maka fikirkan, bayangkan, siksanya di akherat nanti.
Setiap mau melakukan maksiat fikirkan, “Bagaimana ini kalau maksiat kuat tidak
menahan adzabnya nanti di akherat ?” Begitu juga kalau mau melakukan kebaikan
fikirkan pahalanya dan balasannya di akherat nanti. Inilah yang seharusnya kita
lakukan yaitu membawa amal pada janji Allah Swt.
“Wa’addal Wa’id” :
Janji Allah dan AncamanNya.
Kebanyakan dari kita beramal tapi kosong dari
fadhilah, sehingga lewat begitu saja. Beramal tapi seperti adat atau kebiasaan,
tidak ada pengharapan. Begitu juga ketika melakukan maksiat, tidak ada sangkutan
pada ancaman. Sehingga ketika melakukan maksiat santai saja, tidak menganggap
bahwa itu akan mendatangkan ancaman besar di akherat. Oleh sebab itu bagaimana
dalam setiap amalan ini kita hadirkan fadhilahnya. Kita jadikan setiap amalan
ini menjadi dzikir. Apa itu dzikir ? yaitu tawajjuh kepada Allah dalam hati.
Jika dalam setiap amalan ini ada ketawajuhan kepada Allah Swt dalam hati maka
setiap amal ini akan menjadi dzikurullah. Kita berdzikir dengan lisan maksudnya
apa ? ini agar ada ketawajuhan dalam hati. Begitu juga ketika kita mendengarkan
bayan ini, ceramah ini, diperlukan ketawajuhan agar menjadi dzikir. Bagaimana
ketika kita mendengar bayan ini menjadi dzikir. Telinga ini dzikirnya adalah
dengan mendengar. Oleh karena itu ketika kita membaca Al Quran pahalanya lebih
tinggi dengan melihat dibandiing hanya dengan mendengar karena matanya pun ikut
berdzikir, bukan telinga saja. Jadi dzikir mata ini adalah dengan melihat.
Ketika kita membaca Al Quran ini kita melihat langsung dan mendengar langsung,
mata dan telinga ada ketawajjuhan, inilah dzikir mata dan telinga. Beda kalau
hanya dengan mendengar bacaan Qur’an saja. Ketika kita membaca Al Quran, mata kitapun tergunakan
untuk berdzikir. Jadi Melihat itu dzikir Mata, mendengar itu dzikir telinga, dan
membaca di dzahirkan secara lisan itu dzikir mulut kita. Hanya dengan membaca
Quran kita mendapatkan tiga keutamaan dzikir dari mata, mulut, dan
telinga.
Bagaimana kita gunakan seluruh anggota tubuh
kita ini untuk berdzikir kepada Allah Swt, inilah yang dinamakan dengan Ahli
Dzikir. Kita fikirkan bagaimana setiap anggota tubuh kita ini ada ketaatan pada
Allah Swt, sehingga setiap geraknya menjadi dzikir kepada Allah Swt. Maka
ketika kita mendengarkan bayan saat ini kita jadikan dzikir kepada Allah Swt
yaitu dengan ketawajuhan. Apabila kita bisa dengarkan dengan tawajjuh maka nanti
Allah akan berikan Hidayah. Kita mendengar sekarang ini supaya kita dapat
Hidayah. Mendengar untuk dapat Hidayah. Allah Swt menjadikan hidayah bagi orang
yang mendengarkan dengan penuh Tawajjuh.
“Alladzina yattabiuna qoula
fattabiuna….”
Maksudnya apa yaitu mendengarkan dengan penuh
perhatian. Apa yang sekarang kita dengarkan ini kita jadikan dzikrullah, dan
apa yang kita dengarkan ini kita niatkan untuk diamalkan. Tabligh itu bukan
hanya sekedar untuk disampaikan saja, tidak. Tabligh itu untuk apa ? untuk
diamalkan. Tabligh itu bukan untuk belajar bayan atau takrir, tetapi untuk
belajar amal. Orang yang ahli takrir dan ahli bayan itu berarti ahli tabligh,
bukan itu, ahli takrir dan ahli bayan itu seharusnya ahli amal. Ahli Tabligh itu
adalah Ahli Amal. Takrir itu sama dengan Taklim yaitu kita mengajarkan amal pada
ummat. Mentaklimkan orang dengan praktek, yaitu bagaimana taklim itu seharusnya
dilakukan.
Nabi Saw dan para sahabat ini mengajarkan
dengan praktek, dengan amal. Bagaimana kita melakukan taklim ? yaitu dengan
amal. Mentaklimkan omongan itu dengan apa ? dengan amal, dengan praktek. Oleh
karena itulah Tabligh itu dilakukan semuanya dengan Amal bukan dengan
pembicaraan. Seorang yang menyampaikan amalan maka itu dilakukan dengan amalan
itu pula. Menularkan amalan itu kepada orang lain bukan dengan bicara, tetapi
dengan amal. Jika kita amalkan maka orang akan tertular. Maka dalam dakwah perlu
kita tekankan pengamalan sehingga muncul keyakinan terhadap amal. Apabila kita
terus berada dalam amalan-amalan, maka nanti akan Allah munculkan Hakikat dalam
Hati, yaitu Keyakinan dalam Hati. Barang siapa yang bersungguh-sungguh di jalan
Allah Swt, maka nanti Allah Swt akan berikan dia hidayah. Dengan sungguh-sungguh
dan amal yang lurus, baru Allah kasih Hidayah :
“Walladzina jahadu fina lanahdiyannahum
subulana”
Artinya : “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh
dijalan Allah maka Allah akan berikan dia Hidayah.”
Ini adalah janji Allah, untuk siapa ? untuk
orang yang serius dalam dakwah dan bersungguh-sungguh dalam dakwah. Kita ini
bertabligh dengan amalan, sehingga hakikat atau keyakinan ini masuk dalam hati.
Oleh karena itulah yang kita sampaikan pertama kali dalam setiap pembicaraan
kita ini adalah tentang keimanan. Kalimat “La Illaha Illallah” ini yang kita
dakwahkan. Tanpa Iman :
- Amal tidak mungkin istiqomah
- Amal tidak akan mendapatkan pahala.
- Amal tidak akan diterima.
- Apa yang dijanjikan Allah Swt tidak akan disempurnakan.
Janji-janji Allah akan Allah sempurnakan,
pahala-pahala besar akan Allah kasih, amal-amal akan mendatangkan Qobuliat, amal
akan istiqomah, syaratnya adalah Iman. Makin baik Iman kita, makin banyak
Ihtisab. Makin banyak Ihtisab, maka makin banyak pahala. Orang yang tidak ada
ihtisab dalam amal maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa. Amal tidak akan
mendapatkan pahala tanpa ihtisab, karena dalam amal ini tidak ada pengharapan
kepada Allah Swt. Amal yang tidak berpahala ini adalah amal yang tidak disertai
dengan pengharapan kepada Allah Swt atas janji-janji Allah Swt. Sejauh mana
keimanan ini bisa mendatangkan keikhlasan, tanpa iman tidak akan dapat ikhlas.
Orang tidak beramal ini karena lemahnya iman, tetapi orang yang masuk dalam
amalan ini karena adanya Iman. Iman ini hasilnya adalah keistiqomahan, karena
pandangannya tertuju kepada yang paling tinggi, paling atas, yaitu Allah Swt.
Orang yang beramal sedikit ini pandangannya bukan kepada Allah Swt. Orang Riya
pada amalnya ini amalnya akan sedikit sebab pandangannya bukan kepada Allah
Swt.
“Ya hayyuannas wala inkullu namma humilat
kholila”
Orang Riya ini dzikirnya tidak kepada Allah
sehingga amalnya akan sedikit-sedikit. Ini karena pandangannya tertuju bukan
pada Allah, sehingga amal yang dilakukannya untuk selain Allah Swt. Semakin
lemah iman, semakin kecil kemungkinan hakikat masuk dalam hati. Karena lemahnya
Iman, maka amalan ini akan kemasukan Riya. Karena lemahnya iman maka yang
dilihat bukan Allah. Bagaimana Iman bertambah maka Khidmat akan bertambah, kalau
tidak maka akan kemasukan Riya.
Dalam Hadits :
“Riya yang paling rendah itu adalah
Syirik”
Namanya syirik itu dosa dan Allah tidak
mengampuni dosa syirik. Syirik itu membawa kita kepada Jahannam, sedangkan Iman
ini membawa kita ke surga. Amal yang ada syiriknya akan membawa seseorang
kedalam neraka. Semua bentuk kesyirikan akan menjatuhkan dia kedalam neraka.
Oleh karena itulah kita perhatikan kelurusan amal kita. Ada yang namanya syirik
yaitu menyembah berhala. Ini jenis syirik yang semua orang tau yaitu syirik
berhala. Jenis syirik ini semua orang bisa tahu bagaimana dia beribadah dan
menyembah selain Allah. Syirik berhala ini kita dapat melihatnya wujud
penyembahannya yaitu kepada patung atau sejenisnya. Anak kecilpun bisa
mengetahui hal ini, bahwa yang disembah bukan Allah, yang disembah ini selain
Allah. Semua orang Islam bisa tahu bahwa ini mempersekutukan Allah dengan yang
lain. Namun ada jenis syirik lain yang namanya syirik Amali atau syirik amalan.
Syirik amalan ini berawal dari riya, dan syirik amalan ini ada dalam kehidupan
orang Islam. Apa sebabnya seseorang beramal ? disinilah letak perbedaannya
apakah dia tawajjuh kepada Allah atau beramal untuk selain Allah. Kalau dia
beramal untuk selain Allah inilah yang namanya syirik amalan, itulah Riya.
Caranya bagaiamana menjaga amalan ini? Kita beramal dengan niat hanya kepada
Allah, dan kita berharap Allah terima amal kita. Orang yang beramal tanpa niat
tidak ada amalan.
“La amala li malladzi mayahsya” : “Tidak ada
amalan bagi yang tidak niat”
Macam-macam Syirik
Dengan Iman kita luruskan niat kita. Nabi Saw
katakan syirik itu ada 2 :
- Syirik Berhala : Beribadah kepada selain Allah Swt.
- Syirik Amal : Beribadah untuk selain Allah Swt.
Apa maksudnya beribadah untuk selain Allah ?
ini jasadnya seakan-akan beribadah kepada Allah tapi hatinya kepada selain
Allah. Akhirnya amalnya itu tujuannya untuk mendapatkan ridho selain Allah.
Inilah tanda Riya, orang beramal tetapi ingin di puji. Seharusnya dalam beramal
ini yang kita cari adalah pujian dari Allah. Padahal ketika kita beramal, ini
bantuan dari Allah, tanpa pertolonganNya tidak mungkin bisa kita beramal. Orang
ketika beramal itu memuji Allah, dan setelah selesai beramal juga memuji Allah,
sebab dia bisa beramal karena karunia dari Allah. Sedangkan orang riya, dia
beramal ingin dipuji selain Allah. Beramal untuk mahluk, dengan keinginan
mendapatkan pujian dari mahluk.
Amal ini akan mendatangkan pahala jika ada
Iman. Tanpa Iman tidak akan ada Ihtisab, pengharapan kepada Allah, yang ada
adalah Goflah. Qobuliat Amal ini jika karena ada Iman. Amal itu dikabulkan
karena ada ikhlas. Ikhlas ini juga didapatkan dengan Iman. Jika ada Iman maka
akan ada keistiqomahan.
“Innalladzina Robbunnallah
Sumastaqomu…”
Ini kehormatan ayat ini Allah berikan kepada
siapa ? kepada orang yang yakin pada Allah Swt. Orang yang meyakini semua
perkataan Allah Swt ini adalah benar. Orang yang dalam setiap keadaan selalu
mendahulukan Allah. Orang yang meyakini bahwa segala sesuatu ini milik Allah,
dan kerja Allah Swt. Semua yang terjadi ini ada dalam genggaman dan kekuasaan
Allah Swt. Umumnya ketika melihat kekuasaan maka orang-orang akan melihat bahwa
ini adalah perintah dari pemerintah. Namun orang yang yakinnya pada Allah ketika
meilhat kekuasaan maka dia akan segera mentawajjuhkan dirinya kepada Allah,
bahwa semua kekuasaan ini adalah milik Allah. Ketika orang pada umumnya
mendapatkan perintah dari pemerintah, maka dia akan merasa terpaksa
mengerjakannya. Orang pada umumnya melihat keadaan, ahwal, bukan melihat
perintah, ini keliru namanya. Sehingga orang tersebut ketika mengerjakan
perinta, maka dia kerjakan dengan terpaksa, karena apa ? karena keadaan. Ini
karena keyakinannya yang kurang kepada Allah Swt, sehingga dalam beramal ini
yang dilihat ahwal, keadaannya, bukan perintah Allah dalam keadaan itu apa.
Akibatnya kebanyakan Orang pada umumnya akan ikut pada pemerintah dalam
beragama. Inilah yang kebanyakan terjadi hari ini. Padahal seharusnya pemerintah
ikut pada agama bukan agama mengikuti pemerintah.
Jadi orang akan bisa istiqomah sesuai dengan
kekuatan Imannya. Istiqomah ini hanya bisa dilakukan dengan keyakinan. Jika ada
keyakinan maka keistiqomahan akan datang. Mengapa demikian ? orang yang imannya
kuat maka pengharapannya pada Allah akan besar, dan sangkaannya akan kuat
terhadap Allah Swt. Ia akan berprasangka yang kuat bahwa Allah akan memenuhi
janjiNya. Orang berani meninggalkan perintah Allah karena dia tidak meyakini
dalam perintah Allah ini ada kejayaan. Padahal Allah swt ini memberi sesuai
dengan prasangkaan hambaNya. Orang yang mempunyai Iman maka dia akan
berprasangka yang kuat terhadap Allah, sedangkan yang lemah iman tidak akan
mempunyai prasangka yang kuat terhadap Allah Swt.
Kisah Abu Darda RA :
Suatu ketika terjadi kebakaran di sekeliling
rumahnya Abu Darda RA. Ketika itu Abu Darda RA diberitahu bahwa rumahnya
terbakar. Abu Darda katakan, “Tidak mungkin rumah saya terbakar, saya tidak
percaya kalau rumah saya kebakaran.” Kemudian datang lagi orang memberitahu,
“Wahai Abu Darda rumah kamu terbakar.” Abu Darda RA kembali katakan, “Saya tidak
percaya rumah saya terbakar, tidak mungkin rumah saya terbakar.” Tiga orang
datang menyampaikan kepada Abu Darda bahwa rumahnya terbakar tetapi semuanya di
nafikan oleh Abu Darda RA. Orang-orang bertanya kepada Abu Darda RA, “kenapa
kamu tidak percaya rumah kamu terbakar.” Ini dikarenakan Abu Darda RA lebih
meyakini khabar dari Allah Swt dibanding pandangan Mahluk. Inilah ujian keimanan
ketika Allah mempertemukan khobar dan pandangan dari mahluk, kemana kita lebih
condong. Khobar dari Allah sedangkan pandangan dari Mahluk, yang nampak oleh
Mahluk. Mengapa Abu Darda RA begitu yakin rumahnya tidak akan terbakar ? ini
dikarenakan Abu Darda RA mendapatkan amalan yang diberikan oleh Rasullullah SAW,
yang jika dibaca dipagi hari akan terselamatkan dari segala musibah hingga sore
hari, dan jika dibaca disore hari akan terlindungi dari segala musibah hingga
pagi hari. Inilah Khobar yang diyakini oleh Abu Darda RA. Begitulah keyakinan
Abu Darda RA dan prasangkanya yang kuat atas khobar dari Allah melalui rasulNya.
Abu Darda RA lebih kuat prasangkanya terhadap Allah dibanding pandangan Mahluk
terhadap rumahnya. Dan ternyata memang rumahnya Abu Darda RA tidak terbakar
sedikitpun.
Dibacakan Doa Abu Darda oleh Maulana
Saad
Hari ini kita baca doa, tetapi keyakinannya
tidak ada sama sekali, kalaupun ada tapi keyakinannya pada Asbab. Doa pada Allah
tetapi asbab yang diyakini. Padahal kita membaca doa ini untuk mendapatkan
Qobuliat, terutama doa-doa masnunat dalam setiap amal. Celakanya hari ini doa saja
kita tidak mau membacanya, tidak mau belajar. Padahal tidak ada yang lebih
diyakini daripada doa-doa masnunat ini, yaitu doa yang memiliki qobuliat jika
kita meyakini. Kita belajar doa-doa yang diajarkan oleh Nabi Saw. Tidak ada satu
orangpun yang mengajarkan doa sebanyak ini melebihi Nabi Saw. Nabi-nabi lain
tidak ada yang mengajarkan Doa sebanyak Nabi Saw. Dulu waktu kita keluar di
awal dakwah, kita rajin sekali mempelajari dan menghafal doa-doa masnunah.
Bagaimana dengan sekarang ? sudah lupa semua belajar doa. Keluar dijalan Allah
lagi dan lagi, tetapi perkara ini sudah di tinggalkan, pinginnya di anggap
sebagai orang lama, sebagai penanggung jawab.
Abu Darda RA pagi-pagi sudah baca doanya,
orang datang bilang rumahnya terbakar apa kata Abu Darda RA, “Aku tidak percaya,
tidak mungkin Rasullullah Saw mengajarkan aku doa untuk terhindar dari musibah,
namun rumahku tetap terbakar, ini perkara yang tidak mungkin”. Allah akan penuhi
janji pada seseorang apabila orang ini yakinnya sempurna. Prasangka kita
terhadap Allah ini bisa mendatangkan kekuatan yang besar, apa itu ? mendatangkan
Qudratullah dalam diri kita. Orang yang sangkaannya kuat terhadap Allah berarti
dia ada Maaiyatullah, kebersamaan dengan Allah.
Abu Darda RA, setelah padam apinya orang
datang kepada Abu Darda RA, “Wahai Abu Darda tadi ada kebakaran disekitar
rumahmu, namun hampir saja api mengenai rumahmu, namun tidak jadi terbakar.”
Apakah ini hanya kebetulan ? bukan kebetulan, tetapi dengan amalan dan doa tadi
yang dikasih Nabi Saw. Apabila dalam setiap amal kita yakini Janji Allah Swt,
maka Allah penuhi janjinya. Amal ini akan sempurna apabila ada yakin pada janji
Allah, tidak dengan ragu-ragu. Lihat orang-orang munafik , mereka ini
ciri-cirinya beramal lihat keadaan, lihat ahwal. Orang beriman ini ketika
beramal yang dilihatnya adalah apa perintah Allah pada saat itu.
Perang Khanddaq ( parit )
Allah Swt berjanji melalui lisan Nabi Saw. Apa
janjinya ? Allah katakan melalui Nabi Saw bahwa Kalian, para sahabat RA, akan
menaklukan istana-istana Kaisar dan Kisra. Ini sudah berjalan dan sudah terjadi.
Apa kata orang munafik ketika itu, “lihat itu dengarkan perkataannya Muhammad
dengan pengikutnya. Dalam keadaan kelaparan membuat parit, mengatakan akan
mengalahkan kaisar dan kisra.” Semua orang mendengar janji Allah Swt itu. Namun
apa kata orang Munafiqin ketika itu bahwa Allah Swt tidak menjadikan semua ini,
kecuali tipuan. Orang-orang Munafiq mengatakan, “Ini semua palsu saja, mengapa
kalian susah-susah membuat parit jika semua itu pasti menang, bahwa kaum
muslimin akan menaklukkan kisra dan kaisar.”
Allah berfirman : “Orang-orang beriman ini
meyakini janji Allah dan RasulNya, dan setiap ada tambahan janji maka bertambah
keimanan mereka. Namun orang Munafiqin ini ragu dengan janji Allah.”
Ini Allah Swt menyampaikan janji melalui lisan
Rasullullah Saw. Ini adalah ujian untuk orang beriman juga. Ujian Iman bagi
orang beriman. Secara Dzohirnya janji Allah ini seperti tidak sesuai dengan yang
terlihat.
Isra Mi’raj Nabi Saw
Dalam Mi’raj Nabi Saw, ini juga ujian untuk
melihat siapa yang percaya dengan Nabi Saw dan siapa yang tidak percaya pada
Nabi Saw. Ini perjalanan bumi saja dibutuhkan waktu sebulan ke masjidil Aqsa
ketika itu tidak ada pesawat terbang, sedangkan perjalanan kelangit ? ini tidak
terjangkau, tidak ada batasnya, tidak akan bisa ditempuh oleh manusia. Namun
perjalanan bumi yang satu bulan dan langit yang tidak ada batasnya, ini semua
dilakukan dalam semalam saja oleh Nabi Saw. Paginya Abu Jahal berkata dengan
nada mengejek, “Ada apa ini, ada apa ? hai Muhammad ada berita baru apa lagi
sekarang ?” Nabi Saw berkata kepada Abu Jahal, “Semalam aku dibawa ke Baitul
Maqdis, kemudian saya dibawa kelangit, paginya saya sudah sampai disini lagi.”
Begitu orang munafiqin mendengar mereka ketawa-ketawa saja diolok-olok, sebab
kenapa mereka tidak ada keyakinan. Kaum kafirin ketika mendengar itu langsung
mengolok-ngolok nabi dan menganggap sebagai berita bohong dan palsu. Mereka
yang yakinnya lemah ketika mendengar mereka juga ragu-ragu. Sedangkan yang
tidak ada keyakinan mendustakan berita dari Nabi Saw.
Jadi berita isra’ miraj Nabi Saw yang sangat luar biasa
tersebut, dan tidak bisa dijangkau oleh akal manusia, membuat orang yang imannya
lemah jadi murtad. Mereka yang Imannya lemah ini menjadi murtad karena mereka
mengukur pembicaraan Nabi Saw ini dari akalnya bukan dari yakinnya atau hatinya.
Jadi ciri-ciri orang yang lemah iman atau yang yakinnya lemah ini adalah
mengukur pembicaraan Nabi Saw ini dengan akalnya bukan dengan yakinnya.
Sedangkan Akal manusia ini lemah, dangkal, sangat kecil kemampuannya. Akal
Manusia biasa dibanding dengan akal Nabi Saw ini sangat jauh sekali
perbedaannya. Ini dikarenakan Akal Nabi Saw ini sempurna, melebihi kemampuan
akal manusia. Karena itulah ukuran standard janji Allah ini bukanlah akal
manusia. Akal manusia ini terlalu dangkal untuk dapat menerimanya, tidak akan
sanggup. Jadi akal manusia ini bukanlah suatu standard untuk menilai syariat dan
hakikat. Jika akal ini digunakan sebagai standard maka orang macam ini akan
merubah-rubah ketentuan agama. Orang macam ini akan meletakkan agama bedasarkan
akal pikirannya saja. Hari ini perusakan-perusakan agama di seluruh dunia
terjadi disebabkan oleh akal-akal manusia, mereka berkata, “Apa ini ajaran ?
tidak masuk akal….. ini semua sudah beda jamannya, tidak logis lagi.” Ini
perkataan mereka yang menjadikan akal sebagai ukuran beragama. Padahal akal
manusia ini dibanding dengan kemampuan akal Nabi Saw ini tidaklah sebanding. Akal
manusia ini terlalu kecil kemampuannya dibanding akal Nabi Saw.
Firman Allah Swt : “Dengan nikmat dari Allah
Swt engkau ini (muhammad) bukanlah seorang yang gila….” (mahfum)
Ulama mengatakan bahwa Allah membagi akal ini
dari 100 bagian. Dari 100 ini maka 1 bagian Allah bagikan ke seluruh mahluk,
dari ulama, fuqaha, ilmuwan, dokter, ada akal, sampai ke seluruh manusia dari
jaman nabi Adam AS sampai manusia yang terlahir terakhir kali menjelang kiamat.
Dari sini kira-kira setiap orang ini dapat berapa persen dari 1 akal yang Allah
bagikan ke seluruh manusia. Jadi kecil sekali kemampuan daripada akal manusia
ini. Sedangkan 99 bagian lain Allah Swt berikan sendiri kepada Rasullullah Saw.
Jika keadaannya seperti ini apakah sebanding kemampuan akal manusia dibanding
dengan akalnya Rasullullah Saw ? tidak mungkin sebanding. Buktinya apa ? ya
syariat itu sempurna. Syariat yang dibawa Nabi Saw ini sempurna. Kesempurnaan
syariat yang dibawa Nabi Saw adalah sebagai bukti kesempurnaan akal Nabi Saw.
Sehingga syariat Nabi Saw menghapus syariat yang lain termasuk yang dibawa oleh
Nabi-nabi terdahulu. Pada waktu Mi’raj pun Nabi Saw menjadi imam sholat dari seluruh Anbiya. Semua
nabi-nabi mengikut Rasullullah Saw. Syariat yang lalu dan yang akan datang hanya
mengikuti syariat yang Nabi Saw.
Jadi standard agama ini ukurannya bukan akal
manusia. Contoh : menurut akal manusia zakat itu mengurangi harta, dan riba itu
menambah harta. Padahal menurut agama dengan zakat harta bertambah, dan dengan
riba harta berkurang, inilah yang namanya Yaqin atau Iman. Karena itulah ukuran
agama ini bukan akal tetapi perintah Allah Swt. Khobar dari Allah ini
hubungannya dengan perintah Allah Swt. Sedangkan akal manusia ini hubungannya
dengan ahwal, keadaan. Akal manusia ini hanya bisa melihat ahwal bukan perintah
Allah Swt. Sudah menjadikan keputusan Allah Swt bahwa Allah Swt tidak menjadikan
akal sebagai standard hukum syariah. Sebab akal hanya melihat ahwal. Ketika kita
mendengarkan daripada perkataan Nabi Saw lalu kita pegang teguh, itulah yang
namanya Iman. Kita yakini dan kita pegang teguh sabda Nabi Saw itulah yang
namanya Iman Yaqin. Ketika Allah datangkan Ahwal yang bertentangan antara akal
dan perintah Allah, ini untuk apa ? untuk membedakan, mana yang yaqin pada Allah
dan mana yang tidak. Jadi untuk menguji keyakinan manusia ini, maka Allah
datangkan ahwal-ahwal yang bertentangan, untuk menentukan mana yang yaqin dan
mana yang tidak. Janji Rasullullah Saw ini banyak bertentangan dengan ahwal yang
nampak.
Kisah Nabi Saw membeli Kuda
Suatu ketika Nabi Saw membeli kuda dari
seorang Badui, setelah mencapai kesepakatan, maka mereka melakukan ijab kabul
penjualan. Lalu beberapa saat kemudian sebelum kuda itu diberikan, datang orang
menawar harga kuda yang telah dibeli Nabi Saw dari si Badui. Oleh si Badui ini
harga tersebut disetujui. Maka Nabi Saw protes, “Bukankah kuda ini sudah saya
beli, kamu sudah jual kesaya, dan saya telah beli, kenapa di jual lagi ke orang
lain.” Maka si Badui katakan, “Belum saya jual, belum, kapan saya katakan
seperti itu ? demi Allah belum saya jual kuda ini.” Si Badui ini begitu yakin
karena ketika pembelian terjadi mereka hanya berdua saja, Cuma ada Rasullullah
Saw dan si Badui tadi. Lalu kata si badui tadi, “Begini saja kalau memang kamu
ada saksi, bawa kemari, nanti saya kasih kuda ini.” Pada waktu itu tidak ada
orang ketiga, hanya ada mereka berdua yaitu Nabi Saw dan si Badui. Ketika
terjadi perdebatan, datanglah seorang Sahabat Hudzaifah RA mendengar pembicaraan
Nabi Saw dan si Badui. Mendengar permintaan dari si Badui tadi, Hudzaifah RA
berkata, “Kalau begitu saya saksinya….. Saya jadi saksi bahwa Rasullullah Saw
ini betul-betul telah membeli kuda dari kamu.” Orang Badui minta saksi, kini
saksi telah ada, ini kan sudah sesuai berarti.
Secara keimanan tidak ada persaksian yang
lebih kuat dari persaksian Hudzaifah Ra, sebab apa ? ini karena persaksiannya
berdasarkan berita dari Rasullullah Saw. Persaksian atas dasar keimanan bukan
karena penglihatan, yaitu atas dasar berita dari Rasullullah Saw. Hudzaifah
berkata, “Aku menjadi saksi atas berita dari Rasullullah Saw.” Maka tidak ada
persaksian yang lebih kuat daripada persaksian Hudzaifah RA. Beginilah sahabat
RA belajar keimanan. Seandainya waktu itu Hudzaifah RA katakan, “Wah saya tidak
bisa jadi saksi, kan saya waktu itu tidak ada, bagaimana bisa jadi saksi.” Ini
namanya sudah ragu-ragu dengan perkataan Nabi Saw, bukan ragu tapi tidak
percaya. Maka iman sudah keluar ketika kita tidak percaya perkataan Nabi Saw.
Naudzubillah.
Allah Swt mendatangkan keadaan bersama
Rasullullah Saw ini untuk apa ? untuk menguji Iman umat. Di situ akan terlihat
apakah seseorang itu yakin pada perkataan Nabi Saw atau ragu atau tidak percaya.
Padahal beritanya ini ghaib dan bertentangan dengan akal manusia. Maka intihan
bagi para sahabat RA ini berat-berat. Maka ketika Hudzaifah ini bersaksi,
Rasullullah Saw bertanya, “Wahai Hudzaifah bagaimana kamu bisa bersaksi, padahal
kamu tidak ada disitu pada waktu itu, tidak melihat kejadiannya.” Jadi melalui
pertanyaan ini, Rasullullah Saw menguji lagi daripada keimanan Hudzaifah.
Rasullullah Saw menguji bukan ragu. Apa jawab Hudzaifah RA :
“Ya Rasullullah engkau menceritakan kepada
kami tentang Surga, tentang Neraka, tentang Mahsyar, tentang Kubur, tentang
Malaikat, yang kami belum pernah lihat. Semua yang engkau sampaikan kami percaya
walaupun kami belum pernah melihat. Apabila berita yang besar-besar ini saja
kami bisa percayai dan kami Yakini, bagaimana dengan berita-berita kecil macam
pembelian kuda ini.”
Inilah ciri-ciri orang yang yakin pada berita
dari Nabi Saw. Berita Nabi Saw akan dipegang teguh dengan penuh keyakinan. Maka
apa kata Nabi Saw, “Setelah hari ini persaksian Hudzaifah RA ini sama dengan
persaksian yang dilakukan oleh 2 orang nilainya.” Sebab kejujurannya sudah
dibuktikan oleh Rasullullah Saw. Inilah yang namanya keyakinan yaitu 100%
percaya pada khabar dari Nabi Saw.
Iman bil Ghoib apa maksudnya ini ? yaitu kita
mengambil saksi atas dasar berita Ghoib sumbernya. Hari ini Fadhilah Amal tidak
baca, Muntakhob Hadits tidak dibaca, bagaimana mau belajar iman ? Dengan
menceritakan yang ghoib-ghoib maka iman bil ghoib akan datang kepada kita.
Kejadian seperti kisah Hudzaifah ini sangat banyak sekali, namun kalau kita
tidak baca bagaimana akan tau. Akhirnya pergerakan dakwah ini hanya tinggal
pergerakan saja, menjadi organisasi, pengaturan saja. Padahal Iman ini ada
tandanya. Kisah Hudzaifah Ini adalah contoh Iman bil ghoib. Orang yang percaya
setelah melihat bukan iman bil ghoib namanya. Kalau sudah melihat adzab Allah
Swt, itu bukan iman namanya.
Iman bil ghoib ini adalah azas. Bagaimana
mendatangkannya yaitu dengan menceritakan yang ghoib-ghoib. Janji Allah ini
semuanya ghoib, dari kubur, mahsyar, shirot, surga, dan neraka, ini semuanya
ghoib. Yakin pada Janji dan Ancaman, Selamat masuk surga ataupun disiksa di
neraka.
Bahan Bakar Neraka
Dalam pembicaraan dengan sahabat RA, nabi Saw
katakan bahwa :
“Kayu Bakar Neraka itu adalah Manusia dan
Batu”
Salah seorang sahabat duduk di batu yang
besar, dia bertanya kepada Rasullullah Saw, “Kayu bakarnya dari batu ? berarti
batu-batunya besar sekali. Apakah batu-batunya sebesar-besar batu di dunia
?”
Nabi Saw sabdakan
“Satu Batu di neraka itu lebih besar daripada
seluruh gunung di dunia.”
Maka begitu ta’ashurnya para sahabat RA, sehingga
keyakinan mereka tambah kuat lagi. Keyakinan akan bertambah ketika ada
Ta’ashur. Ta’ashur ini bukan sekedar pengetahuan.
Pengetahuan itu tidak ada Ta’ashurnya, tidak mendatangkan kesan. Ta’ashur akan ada apabila ada keyakinan.
Sebab kalau hanya pengetahuan, orang muslim dan non muslim sama saja,
kedua-duanya bisa belajar dan mengetahui. Maka begitu sahabat mendengar langsung
di ingat dan di hayati. Sahabat RA ketika mendengar kayu bakar neraka adalah
manusia dan batu, dan batu-batunya melebihi gunung-gunung di dunia, goncang dia
dan langsung pingsan. Jantungnya masih berdetak, lalu sama Nabi Saw talqin
katakanlah “La illaha Illallah Muhammaddarussullullah”. Setelah mengucap
talqinan Rasullullah Saw, Nabi Saw katakan “Kamu adalah ahli surga”, lalu
sahabat tersebut meninggal dunia. Sahabat RA yang lain yang melihat itu ngiri,
“Wah enak sekali, di talqinkan oleh Nabi Saw, terus masuk surga.” Para sahabat
RA yang disitu bertanya, “Ya Rasullullah Saw janji ini hanya untuk dia saja atau
untuk kita semua.” Nabi Saw katakan : “Janji Allah ini hanya untuk orang yang
takut menghadap kepada Allah Swt. Maka janji ini untuk dia.”
Oleh karena itu 4 hal ini : Qobuliat, Pahala,
Istiqomah, dan Janji Allah Swt ini, hanya bisa didapatkan apabila ada Iman.
Tatkala ada iman maka semua amalan dilakukan dengan Yaqin. Tanpa Iman maka
keyakinan akan keluar dari kehidupan kita. Hari ini dakwah dunia jalan juga
melalui iklan-iklan. Hari ini orang bersusah payah dan bersabar untuk dunia.
Demi dunia umat hari ini rela menahan penderitaan dan hinaan. Sedangkan menahan
penderitaan dan hinaan hari kita tidak bisa. Orang rela menahan penderitaan dan
hinaan untuk agama, namun untuk agama tidak bisa. Kita untuk dunia segala macam
hinaan siap ditanggung. Namun untuk agama ? baru di ganggu sedikit sudah tidak
kuat. Padahal orang yang siap menahan penderitaan demi agama, maka Allah akan
muliakan dia dan Allah akan gunakan dia terus menerus untuk agama.
Kisah Abdullah bin Hudzafah
Abdullah bin Hudzafah ketika membawa rombongan
tertangkap oleh pasukan romawi. Maka abdullah bin hudzafah RA dibawa menghadap
Raja. Raja katakan kepada Abdullah bin Hudzafah, “Kalau engkau mau masuk kedalam
agama Nasrani, maka kamu akan aku berikan separuh dari kerajaanku.” Namun apa
kata Abdullah bin Hudzafah RA, “Walaupun kamu bisa memberikan seluruh kerajaanmu
ditambah dengan seluruh kerajaan yang ada di Arab, sekejap matapun aku tidak
akan pindah dari Islam.”
Masyeikh katakan jika ada seseorang yang mau
bersusah payah menahan penderitaan demi agama, Allah akan muliakan dia. Orang
yang siap bersusah payah di jalan Allah, maka Allah akan berikan dia istiqomah.
Hari ini orang untuk perkara kecil rela meninggalkan agama, padahal sahabat
dahulu walaupun hanya sekejap mata dengan janji diberikan separuh kerajaan,
tidak dia tinggalkan. Hari ini sudah biasa orang muslim menikahkan anaknya
dengan muslim, karena cinta , agama ditinggalkan. Meninggalkan agama untuk
kepentingan dunia, ini bukanlah hal aneh lagi sekarang.
Tatkala umat ini meninggalkan dakwah maka
merubah-rubah syariat, menggampang-gampangkan agama ini menjadi mudah, dalam
kehidupan. Setiap orang akan membuat pernyataan masing-masing tentang Agama.
Agama di logikakan berdasarkan keadaan dan akal manusia. Sehingga agama tidak
menjadi seperti seharusnya, sudah ditinggalkan tidak lagi dipegang secara kuat.
Semua jadi serba dimudah-mudahkan, ingin ini diambil, ingin itu diperbolehkan,
lalu ditaut-tautkan dengan agama lain. Akhirnya menerima agama lain menjadi
mudah, amalan agama lain menjadi seakan-akan amalan kita juga. Inilah fakta
kerusakan dalam kehidupan ummat hari ini. Maka untuk menjaga agama ini bagaimana
caranya ? yaitu dakwahkan Agama.
Abdullah bin Hudzafah ditawarkan separuh
kerajaan, namun apa yang dikatakannya walaupun diberikan seluruh kerajaan
ditambah dengan seluruh kerajaan di arab, berapa menit ? sekejap mata sekalipun
tidak akan dilakukan. Raja menawarkan harta, Abdullah bin Hudzafah menolak, maka
sekarang Raja merubah strateginya dengan mengancam nyawa Abdullah bin hudzafah
RA. Raja katakan, “Wah orang ini rupanya bukan orang yang tamak. Kalau begitu
saya bunuh aja kamu.” Namun Abdullah bin Hudzafah RA tidak gentar, “Silahkan
lakukan saja apa yang kamu mau. Kalau mau bunuh saya, bunuh saja silahkan.” Maka
oleh Raja panggil pasukan pemanah untuk berbaris siap memanah Abdullah bin
Hudzafah RA. Melalui intimidasi Raja memerintahkan pemanah memanah Abdullah bin
Hudzafah, namun panah-panahnya sengaja targetkan di atas kepalanya, diantara
kakinya, disebelah lehernya, tangannya, Abdullah bin Hudzafah RA, tidak ada yang
mengena. Setelah itu Raja kembali menawarkan kepada Abdullah bin Hudzafah
setelah menakut-nakutinya, “Bagaimana sudah mau pindah ke Nasrani ?” Begitupun
Abdullah Hudzafah RA menolak, “Tidak saya tidak akan mau pindah ke
Nasrani.”
Raja tidak kehabisan akal, berikutnya diancam
dengan air panas yang mendidih. Di jejerkan orang-orang lalu di cemplungkan ke
air yang mendidih hingga meninggal dunia. Raja katakan, “Kalau kamu tidak mau
mati maka pindah saja ke Nasrani beres kamu tidak perlu mati.” Ketika Abdullah
bin Hudzafah berada di depan air mendidih yang siap merebus badannya, dia
menangis. Melihat Abdullah bin Hudzafah menangis, Raja berpikir mungkin dia
ketakutan hingga menangis, sepertinya sekarang Abdullah bin Hudzafah sudah mau
merubah pendiriannya menerima Nasrani. Raja kembali menawarkan,“Bagaimana kamu
sudah mau menerima Nasrani sebagai agamamu, tidak perlu takut, kalau kamu pindah
kamu tidak perlu mati?” Abdullah bin Hudzafah katakan, “Oh bukan, bukan karena
takut mati, saya menangis karena andaikan saya punya nyawa sebanyak bulu dibadan
saya, hingga setiap mati hidup lagi, lalu saya ceburkan mati lagi, lalu hidup
lagi. maka semuanya akan saya korbankan. Sehingga setiap kematian Allah berikan
Pahala. Sayang sekali nyawa saya hanya satu.” Inilah keyakinan Abdullah bin
Hudzafah terhadap janji Allah, sehingga rela mengorbankan segalanya untuk agama.
Abdullah bin Hudzafah RA sadar bahwa ini adalah takaza dari Allah Swt, sehingga
jika punya nyawa yang banyak satu demi satu akan dia keluarkan dan dikorbankan
untuk Takaza ini.
Melihat sikap Abdullah bin Hudzafah ini, Raja
makin bingung, “Orang yang demi agamanya, nyawanya saja tidak dia pedulikan,
apalagi dengan harta. Seseorang yang begitu mencintai agamanya, bagaimana dia
bisa cinta padaku.” Melihat hal seperti ini akhirnya Raja membuat penawaran
terakhir, “Bagaimana jika kamu mencium kepala saya, maka saya akan lepaskan
kamu.” Inilah bukti orang yang bisa menahan penderitaan untuk agama, maka Allah
akan berikan dia kemuliaan. Apa kata Hudzafah RA, “Saya akan cium kepala kamu
dengan syarat semua orang islam yang menjadi tahanan kamu bebaskan.” Raja
bilang, “Baik kalau kamu cium kepala saya, maka saya akan bebaskan semua orang
islam di tahanan.” Abdullah bin Hudzafah sadar bahwa kepala yang akan dia cium
ini adalah kepala musuh Allah, ini merupakan suatu penderitaan untuk mencium
kepala musuh Allah. Namun jika ini dilakukan bisa membebaskan semua orang islam
dari tahanan. Maka Abdullah bin Hudzafah maju dan mencium kepala Raja. Setelah
itu semua orang islam dibebaskan dari tahanan dan dibawa kehadapan Khalifah Umar
RA. Ketika Amirul Mukminin mendengar laporan dari Abdullah bin Hudzafah RA,
Amirul Mukminin Umar RA langsung berkata, “semua orang islam wajib mencium
kepala Abdullah bin Hudzafah, dimulai dari saya dulu.” Ini kemuliaan diberikan
karena apa ? tatkala ada susah payah menahan penderitaan demi agama. Selain
kemuliaan, bagi orang yang sanggup menahan penderitaan demi agama, maka Allah
swt akan berikan istiqomah. Bahkan Allah berikan pahala pembebasan orang-orang
islam dari penjara. Ini asbab dia menahan penderitaan yang sedikit mencium
kepala Raja.
Hari ini orang diseluruh dunia siap menahan
penderitaan untuk dunianya tetapi untuk agamanya tidak bisa. Apa yang dia
dapatkan dari pengorbanannya untuk dunia ? Bukannya mendapatkan kemuliaan, yang
didapatkan justru penderitaan dan kehinaan. Padahal dia sudah menahan
penderitaan untuk mendapatkan kemuliaan dunia, namun akhirnya dia tidak dapat
apa-apa selain kesusahan demi kesusahan. Inilah pentingnya dakwah agar mereka
tidak tertipu sama dunia.
Apabila kita dakwahkan agama maka keyakinan
akan datang. Setelah keyakinan datang baru berikutnya Ikhlas. Keikhlasan ini
akan mendekatkan kita kepada Allah. Yakin pada Allah ini salah satunya adalah
Yakin pada Al Quran. Apa maksudnya yakin pada Quran ? yaitu apa yang
diperintahkan kita kerjakan dan apa yang dilarang kita tinggalkan, ini baru
namanya Yakin pada Qur’an.
Mengamalkan apa yang diamanatkan oleh quran itulah yang namanya Yakin pada
Quran.
Ghibbah
Kita harus fikirkan tanda-tanda iman itu apa ?
Kita menyesal karena berbuat dosa juga merupakan tanda-tanda iman. Hari ini
orang islam melakukan dosa tidak ada penyesalan, kenapa ? karena sesuatu yang
dilarang atau diharamkan oleh agama, sudah bersifat umum atau sudah biasa
dilakukan. Tidak ada hewan yang memakan daging manusia sebanyak manusia memakan
daging manusia lain, siapa itu ? yaitu orang yang berghibah. Orang suka Ghibah
ini mereka memakan daging manusia melebihi hewan yang memakan daging manusia.
Manusia memakan daging manusia lain begitu banyak yang hewanpun tidak bisa
memakannya. Orang ghibah itu pasti makan daging orang islam, dan ini susah
tobatnya. Dosa Zina ada bentuknya dan tobatnya tapi kalo Ghibbah ini tidak ada
bentuk dan susah tobatnya, hanya Allah saja yang tau.
Rasullullah Saw sampaikan :
“Ghibbah itu lebih besar daripada
Zina”
Zina ini adalah dosa besar sekali, Nabi Saw
sampaikan :
“Orang berzina ini sama seperti orang yang
menyembah berhala.”
Ini dikarenakan orang berzina itu imannya
telah keluar dari hati. Setelah Iman keluar baru dia bisa berzina. Maka sahabat
heran Zina yang begitu besar dosanya itu, bagaimana Ghibbah ini bisa lebih besar
lagi dosanya ? Dosa besar yang telah dilakukan secara umum maka akan dianggap
seperti dosa kecil saja. Dosa besar menjadi seperti dosa kecil, karena apa ? ini
karena sudah menjadi umum dilakukan, biasa saja. Ketika dosa besar dipraktekkan
secara besar-besaran dan rutin maka akan menjadi seperti dosa kecil saja. Maka
sahabat RA heran Ghibbah ini Nabi Saw katakan lebih besar dari Zina. Sahabat
bertanya, “Ya Rasullullah bagaimana dosa ghibbah ini bisa lebih besar dari Zina
?”
Nabi Saw sampaikan :
“Dosa Zina ini masih bisa termaafkan disisi
Allah, tapi Ghibbah ini tidak bisa dimaafkan disisi Allah Swt.”
Orang berzina ini bisa tobat, bahkan orang
syirikpun bisa tobat. Orang tobat dari syirik masih bisa Allah bisa maafkan.
Orang yang syirik asal dia bertobat dan doa minta dimaafkan oleh Allah Swt masih
bisa dimaafkan. Tetapi kalau Ghibbah ini adalah bagian dari hak manusia, haknya
hamba Allah. Misalnya orang merampas barang dari toko orang lain, maka dia harus
mengembalikan barang curiannya dan minta maaf kepada pemiliknya.
Nabi Saw katakan :
“Orang yang mengghibah minta maaf dulu kepada
orang yang di ghibbah”.
Ini karena hak hamba Allah bukan hak Allah
untuk memaafkan. Inilah sebabnya Rasullullah Saw sabdakan bahwa ghibbah itu
lebih besar daripada zina. Ini karena dosa ghibbah ini tidak langsung Allah
maafkan, beda dengan zina bisa bertobat kepada Allah dan bisa Allah maafkan,
tapi kalo Ghibbah ini Allah tidak bisa memaafkan. Sahabat datang ke mesjid lalu
berghibbah, maka Nabi Saw katakan kepadanya : “Kamu ini telah mempermainkan Al
Quran.” Sahabat itu mengatakan, “Saya beriman kepada Al Qur’an.”
Namun Nabi Saw katakan :
“Orang yang tidak meninggalkan larangan Allah,
maka orang ini tidak beriman kepada Al Quran.”
Kita perlu selalu fikirkan apa itu tanda Iman
? kalau kita tau tandanya maka kita akan tau kondisi Iman kita. Orang bergembira
atas ketaatan dan bersedih jika melanggar perintah Allah, maka ini sebagian dari
tanda Iman. Jika ada perasaan gembira dalam beramal dan sedih ketika bermaksiat,
ini bagian dari tanda keimanan. Namun kalau kita lemah Iman, maka meninggalkan
perintah Allah dan melakukan perbuatan dosa ini jadi biasa saja, tidak ada
kekhawatiran sama sekali. Kondisi seperti ini akan menyebabkan keyakinan
terhadap agama akan keluar dari hati. Jika kita kita dakwahkan agama, maka
keyakinan akan masuk kedalam hati. Mengamalkan agama ini harus ada keyakinan
dalam hati. Apabila agama jauh dari keyakinan, maka akan mudah ditinggalkan.
Hari banyak orang berilmu tapi berkelakuan seperti orang-orang bodoh tanpa ilmu.
Banyak orang yang punya ilmu tapi tidak beragama. Dia tahu perintah dan
larangannya dalam agama, tapi tidak diamalkan. Ini karena apa ? tidak ada
keyakinan. Maka untuk merubah ini semua, kita harus dakwahkan agama. Ini karena
dengan dakwah maka keyakinan akan datang. Inilah kekhususan amal dakwah, yaitu
mendatangkan keyakinan. Sehingga dengan dakwah, keyakinan terhadap dunia akan
hilang menjadi yakin pada agama. Semua kerusakan ini terjadi karena keyakinan
manusia terhadap dunia. Manusia yakin pada dunia sehingga meninggalkan agama.
Agama hilang karena tidak adanya keyakinan dalam diri manusia.
Manusia itu apa yang diyakini itulah maka itu
yang diutamakan. Orang mau sholat karena ada keyakinan dalam sholat, sedangkan
yang tidak sholat karena tidak ada yakin pada sholat. Orang mau beramal karena
yakin pada yang Ghoib, tetapi kalau yakinnya pada yang dilihat maka amal akan
ditinggalkan. Hari ini karena asbab, orang meninggalkan sholat. Orang yang
sholat karena asbab, Allah akan rusakkan asbab tersebut. Sehingga dengan sholat,
Allah akan rusakkan asbab. Karena asbab orang merusakkan sholat, maka Allah akan
rusakkan asbab dengan sholat. Orang yang menjadikan asbab antara dia dengan
Allah, maka amalnya tidak akan nampak dan tidak ada bekasnya. Orang yang
menjadikan asbab antara dia dengan Allah, maka amalannya tidak akan bisa
terjaga. Orang muslim mempunyai asbab yang sama dengan non muslim, mereka juga
ada perdagangan, pertanian, pekerjaan, dan profesi lainnya. Lalu yang membedakan
itu apa ? yang membedakan kalau orang islam itu dalam asbab menjaga perintah
Allah, kalau orang kafir tidak. Orang islam dalam menjalankan asbab menjaga
perintah Allah, tapi kalau orang kafir tidak, semuanya cara dihalalkan dan
dibolehkan. Jadi antara kita dengan Allah ini bukanlah asbab, tetapi agama,
perintah-perintah Allah. Apa yang dijanjikan Allah Swt hanya dengan
perintah-perintah Allah. Didalam keduniaan ini tidak ada janji Allah dan
Qudratullah. Janji Allah ini dengan amal bukan dengan keduniaan atau akal
manusia. Qudratullah Allah berikan dengan Janji, janji bagaimana ?
“Iyyakana’budu wa Iyyakanashta’in” : “Kepada engkau kami menyembah dan
minta pertolongan.”
Allah Swt satukan ibadah dengan Doa. Sedangkan
orang-orang berpikiran menyatukan asbab dengan do’a. Ada asbab baru doa, ini pendapat
orang-orang pada umumnya. Orang-orang berkata setiap ada masalah bahwa
diusahakan dahulu dengan asbab baru dengan doa. Muamalah Allah Swt dengan orang
muslim bukan seperti itu, bukan melalui asbab, kalau melalui asbab, itu muamalah
Allah Swt dengan non muslim. Orang non muslim bersandar pada asbab, maka ketika
Allah berikan, semua beres. Allah berikan asbab-asbab kepada orang non muslim,
Allah penuhi keinginan mereka, sehingga mereka makin lupa pada Allah Swt dan
Akherat. Hingga hari ini Allah siap menolong kita, tapi kita penuhi cara yang
Allah mau. Kita menjadikan asbab antara kita dengan Allah, maka ini bertentangan
dengan ketentuan Allah. Ketentuan Allah tidak seperti itu dengan orang muslim,
asbab ini hanya bagi orang non muslim. Bagi orang non muslim, kamu siapkan
asbab, nanti aku yang bereskan. Orang non muslim itu yakinnya pada asbab : pada
perdagangan, pada kekuasaan, pada harta, maka yang seperti itu Allah penuhi.
Sedangkan para Nabi AS ini tidak Allah berikan asbab, agar umat ini belajar
tanpa Asbabpun Allah bisa memberikan pertolongan. Namun kalau para nabi ada
asbab, maka mereka nanti yakinnya karena ada asbab baru ada pertolongan Allah
Swt. Sahabat RA pangkal kurma bisa berubah menjadi pedang dalam peperangan.
Batang kurma kecil tapi dipegang sahabat RA bisa berubah menjadi pedang.
Kisah-kisah seperti ini bukan hanya sekedar untuk diceritakan saja.
Orang hari ini meyakini kalau ada senjata
pasti menang, padahal janji Allah Swt bukan dengan asbab. Mereka bilang kita
harus siapkan senjata kita agar musuh takut, padahal janji Allah ini bukan pada
asbab melainkan pada sunnah Rasullullah Saw. Dalam kisah Sahabat RA, dikisahkan
asbab pasukan islam ini bersiwak, musuh menjadi ketakutan hingga lari. Para
musuh yang tidak bisa dikalahkan dengan senjata, malah ketakutan hingga lari.
Dengan apa pasukan musuh dikalahkan ? dengan sunnah Rasullullah Saw. Dengan
Sunnah Nabi Saw ini maka Allah akan datangkan ketakutan pada pihak musuh. Allah
akan buat musuh-musuh ini takut asbab Sunnah Nabi Saw. Sahabat malah heran
ketika itu, kenapa orang islam ini tidak bisa menang, amal apa yang kurang ?
Sedangkan pihak musuh, orang-orang non islam, yang dilihat adalah asbabnya, apa
yang kurang ? apakah senjatanya ? apakah perlengkapan perangnya ? beginilah cara
berpikir orang non islam.
Jadi perbedaan dalam pemikiran orang islam
dengan orang non islam ketika datang suatu keadaan adalah :
- Orang islam akan melihat Amal dalam setiap keadaan
- Orang non islam akan melihat asbab dalam setiap keadaan
Jadi ketika kemenangan bagi orang islam ini
tertahan, maka sahabat mencontohkan untuk mengevaluasi amal-amalnya, apakah
sudah sempurna ? apakah sesuai dengan tertib ? amalnya dulu yang dikoreksi oleh
para sahabat RA. Ada masalah, Sahabat fikirnya adalah amalan yang. “Oh mungkin
ada amalan saya yang kurang ? Mungkin ada amalan saya yang salah sehingga
pertolongan Allah tidak datang ? Atau pasti ada sunnah yang tidak sempurna
dilaksanakan ?.” Beginilah fikir sahabat setiap ada masalah. Maka kita penting
bermuhasabbah, mengevaluasi, kekurangan dari amal-amal kita dalam setiap masalah
yang kita hadapi. Sekarang siapa yang bisa membuat keputusan seperti itu ? yaitu
hanya orang-orang yang menjadikan Amal atau perintah Allah Swt antara dia dengan
Allah Swt, bukan orang-orang yang menjadikan asbab antara dia dengan Allah Swt.
Orang yang menjadikan asbab antara dia dengan Allah, tatkala ada masalah dia
akan disusahkan dikarenakan kurangnya asbab. Dia akan berpikir, “Bagaimana ini,
asbab ini tidak ada, asbab itu tidak ada.” Sehingga dia akan merasa hidupnya
penuh dengan kesusahan. Beda dengan orang yang menjadikan amal antara dia dengan
Allah. Tatkala kesusahan datang maka dia akan kembali kepada Allah dengan amal
dan doa. “Ya Allah cukupilah diriku, Engkaulah pemberi Rizki.” Mudah saja bagi
orang beriman, ini karena gantungannya hanya kepada Allah bukan kepada asbab.
Ini penyakit berbahaya, jika seseorang menjadikan asbab sebagai gantungan antara
dirinya dengan Allah, sementara Allah tidak menjadikannya seperti itu. Jika
Allah tidak menjadikan asbab antara hambaNya dengan Allah, kenapa kita justru
menjadikan asbab antara kita dengan Allah.
Bagaimana orang beriman itu menyelesaikan
suatu masalah ? yaitu dengan shodaqoh. Shodaqoh ini bisa memancing pertolongan
Allah. Namun apa yang terjadi hari orang islam menyelesaikan masalah dengan
menyogok. Ada masalah fikirnya menyogok orang agar tidak dikenakan masalah, ini
namanya menyelesaikan masalah dengan masalah. Padahal jika dia bershodaqoh, 1
rupiah saja ini jika Allah terima sudah mencukupi untuk mendatangkan pertolongan
Allah, dibanding memberi uang banyak tapi untuk menyogok. 1 Rupiah saja Allah
hargai bila untuk shodaqoh, tetapi jika untuk menyogok maka yang didapat adalah
murka Allah. Nabi Saw bersabda :
“Memberikan shodaqoh kepada orang muslim
dengan tangan sendiri maka akan menjauhkan musibah yang datang
tiba-tiba.”
Inilah yang dicontohkan Nabi Saw, ketika
memberikan shodaqoh langsung kepada orang miskin dengan tangannya sendiri. Hari
ini orang kaya begitu sibuknya tidak ada kesempatan mencari orang miskin
sehingga tidak bisa memberikan shodaqoh langsung pada orang miskin dengan
tangannya sendiri. Kenapa ini bisa terjadi ? kesibukan mengurus harta sehingga
tidak punya waktu. Hari ini kita cari counter-counter pelayanan zakat, tidak mau
bersusah-susah. Padahal perintahnya :
“Bagi yang berzakat carilah orang miskin
sebagaimana orang yang mau sholat mencari air wudhu.”
Orang yang mau sholat ini harus mencari wudhu
untuk melaksanakan sholat, maka orang berzakatpun juga begitu, harus mencari
orang miskin terlebih dahulu agar bisa berzakat. Sholat ini Fardhu, begitu juga
Zakat, merupakan amal fardhu juga, tidak ada bedanya. Itulah sebabnya Amirul
Mukminin Syaidina Abu Bakar RA mengatakan :
“Kepada orang yang tidak mau membayar zakat
akan aku perangi.”
Inilah kepentingannya antara sholat dan zakat,
yang sama-sama fardhu, tidak boleh dibeda-bedakan, yang membeda-bedakan,
perangi, tidak ada bedanya sama sekali. Inilah keputusan Abu Bakar RA sbg
Khalifah. Hari ini kemana kita membayar zakat ? ke badan-badan, ke
yayasan-yayasan. Mestinya orang berzakat ini, Muzaki, mecari orang miskin atau
penerima zakat, mustahid, sebagaimana orang yang mau sholat mencari air. Orang
mencari air itu susah payah, supaya bisa sholat, begitu juga zakat. Sesuatu yang
pasti-pasti ini harus kita kerjakan. Zakat dan Doa ini, ada janji Allah Swt yang
pasti, tetapi tidak dilakukan, yang dilakukan justru menyogok, padahal itu jelas
dosa.
Kisah Hikmah
Ada seorang anak buah Raja yang ketahuan
disogok untuk menyelesaikan masalah-masalah seorang pengusaha. Maka ada yang
melapor kejadian ini kepada Raja. Raja katakan kepada anak buah, “Sudah, mulai
hari ini kamu tidak usah kerja lagi.” Maka si orang itu katakan, “Saya ini mau
melakukan apa ? saya ini ahli membuat perhitungan. Kalau saya tidak berhitung
maka otak saya bisa rusak. Maka Rajakan katakan, “Kalau kamu memang kamu ahli
hitung-hitungan, maka sekarang kamu hitung didepan saya , ini ada
hitung-hitungannya, dari pagi sampai sore berapa air yang dibutuhkan kerajaan.
Lalu nanti kamu beritahukan.” Maka sore-sore si ahli hitung ini melaporkan
kepada Raja, bahwa air yang dibutuhkan ada sekian banyak. Maka berikutnya ada
yang melapor lagi bahwa si ahli menghitung masih mengambil uang suap. Ini sudah
3 – 4 hari begini, ada kapal
mau lewat tetapi tidak bisa lewat. Namun tertahan asbab si ahli menghitung
jumlah air dari tempat kapal itu lewat. Si ahli menghitung bilang kepada nahkoda
kapal, “Jangan lewat disini, kapal tidak boleh lewat karena saya harus
menghitung jumlah air di sungai ini.” Maka yang punya kapal katakan, “Ya sudah
saya beli airnya sekian, agar kapal bisa lewat.” Akhirnya si ahli hitung ambil
suap lagi. Inilah penyakit yang ada dalam kehidupan manusia hari ini.
Kemunafikan ini bersatunya dengan penyakit, sedangkan keimanan bersatunya dengan
kesehatan.
Jadi yang perlu kita fikirkan adalah bagaimana
antara diri kita dengan Allah hubungannya adalah dengan amal. Kerusakan
keyakinan yang masuk dalam hati kita ini dikarenakan yakin pada asbab. Oleh
karena itulah antara kita dengan Allah ini yang ada haruslah keyakinan pada
amal. Allah swt tidak pernah memberikan janji dengan asbab. Asbab ini tidak bisa
mendatangkan Janji Allah dengan Qudrahnya. Maka yang harus kita yakini untuk
bisa mendatang janji Allah dengan Qudrahnya adalah yakin pada amal. Yakin dengan
sholat, maka Allah akan jadikan sholat ini sebagai asbab terselesainya segala
masalah. Kita harus yakini dengan sholat masalah-masalah kita akan selesai. Kita
yakin pada sholat karena perintah bukan atas janji. Hari ini orang sholat
fikirnya, saya sholat supaya ada keberkahan, supaya urusan dunia saya beres, ini
salah. Sehingga orang sholat untuk cinta pada dunia bukan pada Allah. Orang
memilih jalan hidup agama untuk menjauhkan dari kesusahan dunia. Sehingga yang
terjadi tatkala masalah dunia beres, maka agama ditinggalkan lagi. Inilah
orang-orang yang menggunakan agama supaya dunia jadi baik. Ini suatu yang tidak
mungkin, karena dari niatnya saja sudah salah. Ini namanya kerusakan niat.
Kerusakan niat adalah menggunakan agama untuk menjaga dunianya. Padahal yang
diperintahkan Allah itu apa ? untuk dunia ini Allah perintahkan menggunakan
agama, maka Allah perbaiki dunia ini.
Hari ini yang terjadi orang mengamalkan agama
untuk memperbaiki dunianya. Lihatlah kenyataan hari ini yang amal dunianya
paling baik, dialah yang paling jauh dari agama. Semakin baik dunianya
kebanyakan makin jauh dari agama. Dia akan berpikir, “saya ini sudah baik
adanya, kenapa harus membuat diri saya bersusah payah lagi.” Orang yang tidak
beragama meyakini bahwa orang yang ahwal dunia tidak baik, itu tanda-tanda
kemurkaan Allah. Orang berpikir jika dunia datang kepada dia berarti Allah
sayang pada dia. Padahal ketika dunianya makin baik, dia semakin jauh dari
agama, semakin sulit mengamalkan agama, ini sebenarnya tanda kemurkaan Allah,
pasti. Tanda-tanda Allah murka pada hambanya, maka hambanya ini semakin sulit
mengamalkan agama. Dengan datangnya keduniaan, seseorang ini akan semakin sulit
mengamalkan agama, inilah kenyataan. Agama tidak diamalkan dan dunia semakin
baik, itulah tanda kemurkaan Allah. Padahal yang Allah inginkan adalah seseorang
mengamalkan perintah Allah dalam segala keadaan. Orang Allah beri kaya berarti
Allah cinta sama dia, Orang Allah beri miskin berarti Allah benci sama dia,
bukan seperti itu. Itu hanya keadaan-keadaan saja. Allah maunya kita ketika
mendapat musibah tetap mengamalkan agama, dan ketika mendapatkan kebaikan dan
tidak ada musibah tetap mengamalkan agama. Bukan ketika ada musibah saja dia
mengamalkan agama tetapi ada musibah ataupun tidak, tetap mengamalkan agama.
Dalam keadaan rusak dia tetap mengamalkan perintah Allah, yang seperti ini Allah
akan Ridho.
Orang miskin dan orang yang mendapat musibah tanda kemurkaan Allah,
bukan seperti itu. Cinta dan Murka Allah bukanlah dengan asbab dunia-dunia. Kita
beramal agama supaya berkah hartanya, bukan seperti itu. Akhirnya orang beramal
agama untuk mendapatkan keuntungan dunia. Jika seperti ini agama bisa hilang
dari kehidupan. Agama memang bisa mendatangkan keberkahan, tapi kita mengamalkan
agama bukan untuk mendapatkan keberkahan dunia.
Memberikan pahala ini adalah hak Allah Swt.
Seandainya seluruh manusia dikumpulkan, dari sahabat RA sampai para Anbiya AS,
untuk menahan seseorang yang sudah diputuskan Allah Swt masuk kedalam neraka,
maka tidak ada satupun yang bisa menahannya. Ini yang harus dipahami apa itu hak
Allah. Begitu juga seseorang yang mengamalkan agama untuk mendapatkan keberkahan
ini juga merupakan Hak Allah Swt. Sebagaimana Allah kirim seseorang tanpa
kesalahan apapun kedalam neraka, itupun juga hak Allah Swt, terserah Allah Swt.
Kehidupan begitu juga, berhajat kepada Allah Swt. Jangan hanya mengira kalo
mengamalkan agama dunia jadi bagus, tidak harus seperti itu, ini adalah hak
Allah Swt. Seseorang sujud dari lahir hingga mati, dihadapan Allah Swt dia akan
menganggap amal dia tidak ada apa-apanya, sangat kecil sekali. Ini karena apa ?
ini karena semua amal ini sepenuhnya adalah hak Allah Swt.
Orang yang lemah iman ini istigfarnya untuk
asbab-asbab dunianya, sedangkan orang-orang sholeh ini istighfarnya untuk
amal-amalnya atau kebaikan yang dilakukan. Beramal baik tetapi masih istighfar,
ini ciri-ciri orang sholeh. Sedangkan orang awam istighfar atas dosa, memang
betul itu yang diperintahkan oleh Allah Swt. Hanya saja orang-orang sholeh itu
beristighfarnya atas kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan. Mengapa demikian ?
ini karena semua kebaikan yang bisa kita kerjakan ini sepenuhnya adalah hak
Allah Swt. Abu Bakar RA ini kesholehannya paling tinggi diantara para sahabat
RA. Setelah Rasullullah Saw ini siapa yang paling mendekati kesholehannya ?
yaitu Abu Bakar As Shiddiq RA. Tatkala minta diajarkan doa, yang diberikan oleh
Nabi Saw adalah perbanyak istighfar. Orang yang istighfar akan amal baiknya,
maka Allah akan sempurnakan amalnya. Sedangkan orang yang tidak beristighfar
akan amalnya, maka akan ada kebanggaan, kesombongan, dalam amalnya, amal seperti
ini tidak akan Allah terima. Bangga terhadap amal sendiri, ini tidak disukai
oleh Allah Swt. Orang-orang yang mendakwah diri sendiri ini, Allah tidak suka.
Bagaimana orang mendakwahkan diri sendiri ? yaitu ketika dia mengatakan saya
sudah melakukan amal ini dan saya sudah melakukan amal itu.
Jadi yang namanya Agama ini adalah hak Allah
Swt sepenuhnya, terserah Allah mau menunaikan atau tidak hak-hakNya. Jadi Allah
Swt itu tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap hambaNya, ini yang seharusnya
kita renungkan. Maka orang masuk surga bukan karena amal, melainkan karena
kebaikan Allah Swt, bukan karena kewajiban Allah Swt. Setelah melakukan amal,
Allah wajib memasukkannya ke surga, bukan seperti itu. Amal ini memang perintah
Allah untuk dikerjakan, namun masuk surga ini bukan karena amal, tetapi karunia
dari Allah Swt. Tidak ada keharusan bagi Allah memasukkan surga dengan amal,
melainkan masuk surga dengan karunia, kasih sayang, Allah Swt.
Nabi Saw berkata kepada Aisyah R.ha
:
“Wahai Aisyah tidak ada satu amalpun yang bisa
menyebabkan seseorang masuk surga.”
Aisyah berpikir, kalau amal-amal tidak bisa
menyebabkan masuk surga, bagaimana dengan Rasullullah Saw ? maka Aisyah R.ha
bertanya, “Kalau untuk engkau bagaimana ya Rasullullah ?” Nabi Saw katakan,
“Sayapun juga demikian, sama saja, yang menyebabkan
saya masuk surga ini bukan karena amal saya melainkan karena karunia, kasih
sayang, Allah Swt.”
Maka seluruh manusia di akherat nanti akan
dibangkitkan dalam keadaan penuh ketakutan. Bahkan para anbiya sekalipun ketika
dimintakan syafaat, mereka para anbiya pun juga dalam keadaan ketakutan. Para
Anbiya akan mengatakan, “Pergi ke Nabi yang lain, coba minta kepadanya.” Semua
manusia dalam ketaktukan termasuk orang-orang sholeh sekalipun. Pada hari itu
Allah Swt begitu Murka, yang murkanya tidak pernah seperti itu. Bahkan setiap
nabi akan memukul kepalanya sendiri ketakutan, “Bagaimana ini….bagaimana ini…”
Setiap Nabi akan menghitung kesalahannya masing-masing, semuanya merasa banyak
dosa :
- Nabi Adam dimintai syafaat dia akan bilang, “saya tidak bisa, saya sudah melakukan dosa besar. Saya sudah memakan buah yang terlarang.”
- Nabi Ibrahim juga begitu, “Saya tidak berani, saya sudah melakukan dosa besar.”
- Nabi Musa pun juga begitu, “Saya tidak bisa, sayapun telah melakukan dosa besar.”
Siapa Ibrahim AS ? Siapa Musa AS ? mereka
adalah ulul azmi, Nabi yang utama atau yang paling dekat dengan Allah Swt. Namun
bagaimana keadaan mereka ? ketakutan. Semua Nabi mengatakan hal yang sama ketika
manusia datang kepada mereka mohon syafaat agar selamat dari murka Allah Swt.
Semua anbiya ketakutan tidak ada yang berani memberikan syafaat. Setelah tidak
ada satu anbiya pun yang berani, maka mereka akhirnya datang kepada Rasullllah
Saw untuk meminta syafaat. Di masa itu hanya Rasullullah Saw lah yang mempu
memberikan syafaat.
Maka melihat keandaan para anbiya sekalipun di
akherat, kita ini yang bukan anbiya perlu menyesali dosa-dosa kita. Bahkan
jangan dosa-dosa saja yang kita sesali, amalpun kita sesali. Menyesali dosa itu
sudah suatu keharusan dan pasti, namun amalpun juga harus kita sesali. Di
mahsyar bahkan para anbiya sekalipun mengecilkan amalnya dan membesarkan dosanya
dihadapan Allah. Jadi jangan kita berbangga dengan amal-amal yang telah kita
kerjakan. Orang yang suka menyesali amalnya, maka akan disempurnakan amalnya
oleh Allah Swt. Orang suka menyesali amalnya fikirnya, “Kenapa amal saya ini
kurang sekali mutunya ? kenapa amal saya ini lemah sekali ? kenapa amal saya ini
tidak maksimal saya kerjakan ? Bagaimana Allah Swt mau menolong saya amal saya
jelek begini ?” Amal yang di dakwahkan dengan penyesalan terhadap diri sendiri,
maka dia tidak akan menuntut keberkahan kepada Allah Swt. Ini yang benar,
beramal tapi tidak menunut keberkahan, karena apa ? ada penyesalan dalam
amalnya. Orang yang menyesal karena dosa ataupun amal maka Allah akan
sempurnakan amalnya. Ini harus dipahami jika ada seseorang secara keduniaan dia
kurang, dia lagi susah, berarti Allah lagi murka, dan orang yang keduniaannya
dan keadaannya baik berarti Allah sayang pada dia, tidak, bukan seperti
itu.
Kisah Hikmah
Ada seorang anak bayi sedang menetek meminum
susu ibunya. Tiba-tiba si ibu ini melihat ada seorang perempuan sedang dipukuli
dan diseret orang-orang dan dikatai, “Dasar Pencuri…… dasar Penzina”. Melihat
keadaan ini si ibu berdoa, “Ya Allah jangan jadikan anakku seperti wanita
pencuri dan penzina itu.” Mendengar doa ibunya si anakpun melepaskan susuannya
lalu berdoa, “Ya Allah jadikanlah aku seperti wanita yang disakiti itu.” Si anak
setelah berdoa kembali menetek lagi. Beberapa saat kemudian lewatlah seorang
kaya raya dan berwibawa. Maka si ibu berdoa, “Ya Allah jadikanlah anakku seperti
dia (orang kaya itu).” Lalu si anak melepaskan susuannya kembali dan
berdo’a, “Ya Allah jangan
jadikan aku seperti orang ini (si kaya tersebut)” Ini kenapa si ibu berdoa
seperti itu dan si bayi berdoa yang bertentangan dengan doa ibunya. Ini karena
si ibu berdoa berdasarkan pandangan yang dia lihat, Padahal apa yang sebenernya
tidak seperti yang terlihat. Ternyata si wanita yang disiksa tadi adalah wanita
yang sholehah dan si orang kaya tadi rupanya seorang yang dzolim. Inilah yang di
minta dan yang seorang dimohon perlindungan oleh di bayi tadi.
Orang musyrikin Quraish ini kenapa tidak mau
menerima dakwah Nabi Saw, ini karena keadaan dzohir Nabi Saw ini kacau, tidak
enak dilihat.
Nabi Saw sampaikan ketika berdakwah
:
“Wahai hatib bin hasyim apakah engkau tidak
mau menerima dakwah saya karena kemiskinan saya.”
Janji Allah Swt ini bukan maksud, tapi
mau’ud, dijanjikan bukan
dimaksudkan. Keberkahan ini Mau’ud, dijanjikan, bukan dimaksudkan. Orang yang menjadikan janji
Allah ini sebagai maksud bukan mau’ud, maka Allah jadikan orang tersebut meninggalkan agama. Ini patut
kita fikirkan dan direnungkan. Kalau Surga yang begitu abadi selamanya itu hanya
dijadikan Mau’ud saja, yang
dijanjikan, bagaimana mungkin dunia yang rusak dan sementara ini dijadikan
Maksud. Padahal surga itu yang begitu tinggi tingkatannya dibandingakan dunia,
itupun bukan dijadikan maksud tapi mau’ud, apalagi dunia ? Jadi maksud itu apa ? maksud itu adalah Allah
Swt. Maksudnya Allah Swt, Mau’udnya adalah Surga. Jadi surga ini yang dijanjikan bukanlah maksud,
tetapi mau’ud. Jika tidak
begini maka orang mengamalkan agama untuk dunianya saja. Agama atas dasar
suasana ketaatan ini sementara semua. Orang yang mengamalkan agama untuk ahwal,
ini seperti obat untuk orang sakit. Tatkala sakit obat ada, lalu ketika sembuh
obat ditinggalkan. Hari ini begitu pula, orang mengamalkan agama karena
ahwal-ahwal saja, tatkala ahwalnya sudah bagus agama ditinggalkan. Kita beramal
agama bukan untuk memperbaiki keadaan, tetapi kita beramal agama untuk mentaati
perintah Allah. Dalam keadaan apapun perintah Allah akan kita lakukan. Jadi
agama ini bukan mengikuti ahwal, tetapi ahwal yang mengikuti agama. Oleh sebab
itu ketika mau mengamalkan agama ini pertama kali yang harus kita luruskan
adalah luruskan niat kita.
Kita, semua orang, diperintahkan Allah untuk
beribadah dan berdakwah. Dakwah dan Ibadah ini perintah Allah Swt. Allah swt
sudah memerintahkan kita untuk beribadah dan berdakwah. “Wa’bud rohbut akhtayasa yaqin” : “Sembah
Allah sampai Mati.” “Wad’ud
illa sabili robbika” ini perintah dari Allah untuk siapa ? untuk semuanya. Orang
beramal dan tidak amal, dakwah ini perintah Allah. Mau dia beramal dan tidak
beramal, Allah perintahkan mereka untuk beramal. Dakwah itu untuk perbaikan diri
sendiri. Sebagian orang mengatakan, “saya tidak mau berdakwah karena saya
sendiri belum mengamalkan.” Padahal tidak ada syarat dalam berdakwah ini harus
diamalkan dulu, bukan syarat yang seperti. Kita amalkan dulu baru kita
dakwahkan, bukan seperti itu yang diminta. Memang benar orang yang berdakwah itu
hendaknya mengamalkan apa yang dia dakwahkan. Tetapi jangan dibalik belum
mengamalkan tidak boleh mendakwahkan, ini pernyataan tidak ada di quran dan
tidak ada di hadits, tidak ada larangan seperti itu. Orang yang mau beramal saja
sedikit, maka jika seperti itu yang mau berdakwah bisa lebih sedikit
lagi.
Dakwah ini diperintahkan untuk semua orang,
karena dakwah ini untuk menghidupkan amal agama. Supaya hidup amal agama dengan
dakwah. Jadi kalau syaratnya dakwah ini harus amal berarti yang bisa berdakwah
hanya orang-orang yang beramal saja terutama orang-orang tempatan saja yang
nampak.
Rasullullah Saw sampaikan :
“Dakwahkan kebaikan walaupun kalian belum bisa
mengamalkannya”
Ada dalam hadits dan ayat Al quran dikatakan,
“Mengapa kamu bicara padahal kamu belum mengamalkan ?” sehingga asbab ini banyak
orang tidak mau berdakwah sebelum mengamalkan. Padahal maksud ayat dah hadits
ini bukan seperti itu. Ayat dan Hadits tersebut berlaku bagi orang-orang yang
berdakwah untuk memperbaiki orang lain. Pedagang berdakwah tentang dagangannya
itu sebenernya untuk dirinya sendiri bukan untuk pembeli. Si pedagang berdakwah
mengenai dagangannya untuk kepentingan dirinya bukan untuk kepentingan si
pembeli. Orang yang punya hutang banyak lalu dia berdagang, maka dia akan bilang
kepada orang-orang, “Beli ini…beli ini..” sebab kenapa ? dia berdagang ini untuk
membayar hutang, bukan karena untuk membantu pembeli, bukan seperti itu. Jadi
kita dakwah untuk diri sendiri, terserah mereka mau terima atau tidak, mau
percaya atau tidak.
Orang bilang inikan ada ayatnya, main
dakwah-dakwah saja, belum tau ayatnya sudah dakwah-dakwah saja. Padahal
terjemahannya tidak seperti itu dan maksudnya tidak seperti itu. Terjemahannya
adalah :
“Limatakunu limatafalun”
Kamu memerintahkan saya untuk mengamalkan ini
tapi kemudian kamu sendiri tidak mengamalkan, inilah terjemahan yang sebenarnya.
Kenapa kamu katakan, “saya mau berjihad” tetapi kamu tidak berangkat berjihad.
Maka kalian mengatakan sesuatu yang kalian sendiri tidak akan
melakukan.
(dibacakan ayat al quran) oleh maulana
saad.
Kisah Nabi Isa AS
Orang-orang berbicara kepada Nabi Isa AS,
“Nanti kalau dimintakan perang kita akan perang.” Tetapi setelah diminta, malah
duduk semua, tidak ada yang mau. Atas perkara ini Allah ingatkan mereka. Allah
Swt berfirman untuk mengingatkan mereka. “Bukankah kalian dulu berjanji, jika
ada perintah berjihad, maka kalian mau berjihad, sekarang sudah ada perintah
berjihad kenapa kalian tidak mau berjihad !” itu hubungannya kesana.
Namun sekarang orang salah mentafsirkan. Kalau
belum beramal kok berani mendakwahkan, ini lain maksudnya. Jadi tidak ada
larangan belum beramal tidak boleh berdakwah. Tidak ada larangan orang yang
melakukan maksiat, dia tidak boleh melarang maksiat, tidak ada aturannya seperti
itu. Jika seseorang belum bisa mengamalkan amal baik, tidak ada larangan untuk
mendakwahkan amal tersebut.
Nabi Saw sabdakan :
“Perintahkan kebaikan walaupun kamu belum bisa
mengamalkan semuanya, Cegah kemungkaran walaupun kamu belum bisa meninggalkan
semuanya.”
Saya belum sholat tahajjud, bagaimana saya
bisa mengajak orang tahajud ? saya masih melakukan dosa, bagaimana saya bisa
melarang orang berbuat dosa ? saya ini masih banyak melakukan dosa, bagaimana
saya bisa mendakwahkan agama ?
“Orang yang tidak mau berdakwah karena dia
belum beramal ini seperti orang yang tidak mau berpuasa karena dia belum
sholat.”
Maksudnya apa ? ini dua perintah yang
berlainan. Puasa itu suatu perintah, tetapi Sholat itu suatu perintah yang lain.
Jadi kalau orang tidak sholat, lalu tidak berpuasa, maka dua-duanya
ditinggalkan. Ini sama saja meninggalkan 2 perintah Allah. Apakah karena tidak
sholat sehingga ada izin untuk tidak puasa ? tidak seperti itu, itu dua perintah
yang berbeda. Inilah tafsir dalam Kitab Ma’riful Quran oleh Ummu syafiroh, dia
meluruskan :
“Orang yang tidak beramal kemudian dia tidak
mau mendakwah amal itu maka ini seperti orang yang tidak mau berpuasa karena dia
belum sholat.”
Padahal ini perintah yang lain satu sama lain
: sholat perintah yang tersendiri, puasa perintah yang tersendiri. Menjalankan
perintah dengan mencegah kemungkaran ini suatu perintah. Bukan berarti belum
beramal lalu kemungkaran di diamkan saja, tidak mau dakwah, tidak bisa begitu,
rusak nanti umat. Kita niatkan bahwa kita dakwah untuk diri kita sendiri.
Buktinya apa kita berdiri niat keluar di jalan Allah.
Insya Allah !!