Thailand bukan hanya Gajah Putih dan pariwisata seks. Ramadhan kemarin, H Agus Soetomo menjelajah wilayah selatan negeri itu, beri’tikaf dari masjid ke masjid. Pimpinan Yayasan Putra Mulia, LSM yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan dakwah di Jakarta ini membagi ceritanya kepada Sahid.
Keberangkatan saya ke Thailand dalam rangka
khuruj (keluar) di jalan Allah. Maksudnya, waktu yang sengaja disempatkan untuk
melakukan dakwah secara langsung di lapangan. Orang sering menyebut mereka yang
melakukan ini sebagai jamaah tabligh. Kami sendiri yang melakukannya tidak
merasa perlu memberinya nama apa-apa, karena inilah Islam, dakwah yang diajarkan
Rasulullah.
Kami berencana melakukan perjalanan selama 40
hari. Ada beberapa pilihan waktu yang di-ijtihad-kan para ulama tabligh, bisa
tiga hari setiap satu bulan, empat puluh hari dalam satu tahun, dan empat bulan
dalam seumur hidup. Gerakan ini diprakarsai ulama-ulama di India lebih dari 70
tahun yang lalu, pemimpinnya bernama almarhum Maulana Muhammad Ilyas.
Semula rombongan kami berniat mengikuti
pertemuan (ijtima’) besar di
Pattaya (kawasan pantai yang terkenal itu) yang diikuti puluhan ribu orang dari
berbagai negara. Namun karena sesuatu hal kami terlambat, sehingga daerah tujuan
kami adalah Yala (pusat tabligh) di Thailand, letaknya sekitar 40 km dari
Pattani, propinsi di bagian selatan negeri itu yang mayoritas warganya
muslim.
Kami berangkat dengan menggunakan jalur darat
dan laut, melalui Batam, Johor Bahru (Malaysia), terus naik bis ke Thailand.
Dari masjid markas di Kebon Jeruk Jakarta dalam satu rombongan kami yang
berjumlah 8 orang, ada yang b erasal dari Surabaya, Jambi, Batam, Bogor. Salah
seorang di antaranya baru selesai khuruj selama empat puluh hari di Jerman.
Setibanya di Johor, ada seorang anak muda yang hafidz Qur’an dari Thailand bergabung dengan
rombongan kami, sehingga berjumlah sembilan orang.
Selama dua puluh tujuh hari di Thailand, kami
selalu tinggal berpindah-pindah dari satu masjid ke masjid lainnya, bukannya di
hotel atau di rumah penduduk. Biasanya kami tinggal selama dua hari dua malam di
setiap masjid.
Kegiatan kami dari hari ke hari tiada lain
dakwah, terutama mendakwahi diri kita sendiri dengan melaksanakan langsung
sunnah-sunnah Nabi. Mulai dari yang kecil, seperti adab makan dan tidurnya Nabi,
sampai bagaimana Nabi bermasyarakat, bermusyawarah, berjual-beli, dan
mengembangkan empati sosialnya.
Di sinilah kunci penempaan diri sebagai muslim
yang ditawarkan kegiatan ini. Selama hidup kita ada ratusan kitab agama yang
kita baca, tetapi hanya sedikit yang benar-benar kita rasakan nikmat
pengamalannya.
Tetapi kalau kita khuruj beberapa hari saja,
sedikit yang kita baca, tapi ratusan sunnah Nabi kita kerjakan, dan langsung
terasa nikmatnya berIslam itu. Bahkan pada saat kita secara lisan mengajak orang
hadir ke masjid pun, sesungguhnya kita sedang mendakwahi diri kita
sendiri.
Thomyam yang lezat
Selama kami melakukan dakwah, seperti halnya
di Indonesia, tidak semua masyarakat yang kami datangi tertarik dengan kegiatan
ini. Hal ini sudah biasa kami alami, dan ini justru menjadi pemicu semangat
kegiatan dakwah dan sarana introspeksi. Adapun materi yang menjadi bahan kajian
sehari-hari lebih banyak menyangkut amalan sunnah. Kami tidak berbicara politik
atau khilafiyah. Setiap hari kami melakukan musyawarah. Biasanya dipimpin oleh
amir (ketua rombongan).
Pembagian tugas diatur dan digilir, sehingga
setiap anggota rombongan merasakan semua kegiatan ini. Ada yang dapat bagian
masak (khidmat), ada yang bagian silaturrahmi (khususi), ada yang bagian ceramah
(bayan), ada pula yang khusus dzikir saja untuk mendoakan rombongan yang
bertugas mendatangi dari rumah ke rumah. Mereka yang ke lapangan didampingi
seorang petunjuk jalan (dalil), biasanya dari orang setempat.
Beberapa kali saya ditunjuk jadi petugas
khidmat, sehingga saya dapat belajar pula memasak masakan khas Thailand, namanya
Thomyam. Sayuran dicampur dengan udang, ditambah jamur, bisa juga dicampur
dengan ayam, pedas-pedas sedikit, disiram air perasan jeruk. Lezat.
Kegiatan tabligh bukan saja di masjid,
rumah-rumah, tapi juga di pasar, di tempat-tempat orang berjudi, di tempat orang
yang sering mabuk-mabukan. Dalam berkomunikasi kami menggunakan bahasa Melayu,
dan sebagian Siam, tak ada kesulitan karena ada penerjemah.
Kegiatan tabligh di Thailand sudah berjalan
cukup lama, sehingga masyarakat tak aneh lagi menerima kehadiran kami. Kami
sering menyebutnya kaum muhajirin dan kaum anshar karena terasa sekali jalinan
tali ukhuwah yang luar biasa. Pelaksanaan ajaran Rasulullah saw tentang
bagaimana memuliakan tamu sangat terasa sekali. Kami benar-benar mendapatkan
perlakuan yang luar biasa. Segala sesuatunya dilayani, segala kebutuhan
dipenuhi.
Walaupun kami sendiri membawa perlengkapan
masak, hampir-hampir tak terpakai, karena setiap hari masyarakat sekitar masjid
mengirim makanan. Mereka yakin benar pada hadis Nabi, bahwa mukmin sejati itu
harus memuliakan tamu. Sungguhpun mereka tergolong masyarakat miskin.
Suatu kali kami bilang pada mereka, “Pak,
sudah lah, tak usah repot kirim-kirim makanan. Kami mau masak sendiri.” Apa
jawab mereka sambil tersenyum, “Emm, boleh, boleh. Kalian boleh masak sendiri,
tapi jangan tinggal di masjid kami.” Subhanallah.
Ada seorang ikhwan setempat yang begitu
rajinnya melayani kami, sampai-sampai kami rasakan, setiap malam, saat kami
pergi tidur dia masih mengaji Qur’an. Eh, waktu kami bangun untuk shalat tahajjud, dia sedang shalat.
Kapan tidurnya orang ini? Lebih mengejutkan lagi, ternyata waktu kami tidur dia
mengumpulkan pakaian kotor kami, lalu dicucinya semua. Kami sampai mau menangis
waktu akan berpisah dengan dia.
Kehidupan masjid semakin semarak setelah
kedatangan rombongan kami. Berbagai kegiatan untuk tua maupun muda tampak
beragam dan mereka semakin bergairah. Masjid menjadi ramai. Tampak setiap
pelaksanaan shalat lima waktu, tak terkecuali shubuh, padat dikunjungi jamaah.
Mereka bukan saja dari penduduk setempat, melainkan dari penduduk yang
jauh.
Kami tidak khawatir masjid akan redup bahkan
sepi dari kegiatan dakwah setelah ditinggal, karena ada karkun, yaitu orang yang
sudah terlibat dengan kegiatan tabligh. Mereka yang bertanggungjawab untuk
menjaga dan meningkatkan kemakmuran masjid.
Sisa-sisa Romusha
Di Yala, sebuah kota yang kira-kira sebesar
Bogor, sedang dibangun sebuah masjid yang luasnya hampir sama dengan masjid
Istiqlal di Jakarta. Inilah markas mereka di Thailand. Luas bangunannya lebih
dari 1 hektar, sedangkan halamannya 7 hektar, terletak di tengah
kota.
Masjid ini mulai dibesarkan sejak dua tahun
yang lalu dengan swadaya masyarakat. Tidak hanya dana, tapi juga tenaga, mulai
dari arsitek sampai pekerja kasar, semua aktivis dakwah. Arsitek-arsiteknya
didatangkan dari India, sedangkan pekerja kasarnya silih-berganti siapa saja
yang sedang i’tikaf di
kawasan itu.
Begitu kuatnya semangat mereka membangun
sendiri markas dakwah itu, sampai mereka berkali-kali menolak sumbangan dari
Raja Thailand. Karena sang raja ngotot, sumbangan itu diterima dalam bentuk
jalan beraspal sepanjang 300 meter dari jalan besar menuju masjid. Begitu sampai
pintu masuk, sumbangan itu dihentikan.
Setiap malam Jumat (malam markas) tidak kurang
seribu jamaah yang hadir di masjid ini. Mereka datang dari berbagai daerah, dan
jadi tempat persinggahan para jamaah tabligh dari berbagai negara sebelum
melanjutkan perjalanannya ke negara lain. Entah dananya dari mana, meski begitu
banyak orang yang berkumpul tak pernah terjadi kekurangan makanan.
Pemerintah dan masyarakat umumnya simpati
dengan kegiatan ini. Di Yala sendiri, meski diperintah oleh orang-orang Budha,
ummat Islam sangat dihormati karena akhlaknya. Kita benar-benar seperti tinggal
di negeri muslim, dengan perempuan-perempuan yang menutup auratnya secara
baik.
Ada pula cerita jamaah lain ketika jajan di
salah satu warung. Mereka dibayari oleh tentara Thailand, karena simpati dengan
kegiatan dakwah ini. Menurutnya, negara akan aman kalau dijaga oleh tentara
Tuhan &emdash;sebutan mereka kepada jamaah tabligh.
Bahkan ada cerita yang saya dengar dari
masyarakat Thailand sendiri, bahwa Raja Bhumibol Adulyaded sempat marah ketika
terjadi keributan di acara Asian Games &emdash;saat pertandingan sepak bola
Thailand dan Qatar. Raja bilang, “Itu ribuan orang muslim di Yala berkumpul tak
pernah ada keributan. Ini mengatur 22 orang yang berebut bola saja tidak
bisa.”
Perkembangan agama Islam di negeri Gajah Putih
sekarang ini ditopang oleh generasi mudanya, di samping semaraknya kegiatan yang
dilakukan oleh jamaah tabligh. Diakui, mahasiswa muslim di berbagai perguruan
tinggi di ibu kota merupakan motor penggerak berbagai aktivitas pengajian dan
pengkajian nilai-nilai Islam termasuk di bidang kemasyarakatan. Militansi mereka
sangat menggelora. Keadaan demikian tentunya semakin memperkokoh keberadaan
ajaran Islam di negeri ini.
Dari perjalanan kami selama khuruj, ada hal
yang menarik pula. Di Kota Baru (perbatasan Malaysia dan Thailand) kami bertemu
dengan beberapa orang Indonesia bekas romusha. Mereka dibawa oleh Jepang ke
Thailand semasa pendudukannya di negara ini. Mereka bertahan hidup dan menikah
dengan masyarakat setempat.
Seperti yang saya temui, Abdurrahman (76) asal
Jawa, Pak Su (74) asal Madiun, dan beberapa lainnya dari Sumatra. Mereka
sekarang aktif berdakwah. Menurutnya, daerah perbatasan yang kotanya bernama
Padang Besar dulunya dikenal tempat maksiat, masjid sering dikunci, dan halaman
parkirnya dipakai kendaraan mereka yang bermain judi. Alhamdulillah sekarang
sudah ramai kegiatan keislaman. Tempat-tempat maksiat yang berderet-deret
seperti di kawasan Mangga Besar Jakarta kini tutup dan terbengkalai seperti kota
mati.
Sebagaimana sudah kita maklumi, agama resmi di
negeri ini adalah Budha yang dianut oleh lebih dari 95 persen penduduk, terutama
di kalangan orang Thai. Jumlah penduduk negeri itu kini diperkirakan 62 juta
jiwa.
Di samping pemeluk Budha, ada muslimin yang
kebanyakan tinggal di Pattani, wilayah bagian selatan yang umumnya berasal dari
kalangan Melayu. Sedangkan Kristen, yang kebanyakan tinggal di bagian tengah,
umumnya berasal dari kalangan keturunan Cina. Suku-suku yang mendiami daerah
pegunungan sebagian besar masih menganut animisme.
Bangsa Thai berasal dari Cina Selatan, dan
sejak abad ke-9 sudah mendirikan beberapa kerajaan di negeri yang sek arang
disebut Thailand. Negara yang dijuluki “Gajah putih” ini adalah satu-satunya
negara Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah bangsa Eropa. Negara berbentuk
kerajaan konstitusional ini berbatasan dengan Kampuchea di timur, Laos di utara,
Malaysia di selatan, dan Myanmar di sebelah barat.
Thailand adalah salah satu negara yang paling
tinggi laju pertumbuhan penduduknya. Di utara dan timur laut, pusat-pusat
pemukiman penduduk umumnya terletak di sekitar sungai. Sedang daerah yang jarang
penduduknya merupakan daerah hutan, bergunung-gunung, kering, tandus, dan
berawa-rawa.
Tak jauh berbeda dengan Indonesia, negara yang
luas wilayahnya 513.115 km2 ini memiliki kekayaan alam yang sangat potensial.
Hutannya luas, di antaranya ditanami pohon jati dan rotan. Pertanian masih
memegang peranan utama di negeri ini. Padi, jagung, karet, gula, ikan, kerang,
adalah barang-barang yang diekspor ke berbagai negara, di antaranya Belanda,
Amerika Serikat, Jepang, Singapura, dan Malaysia.
Kekayaan yang melimpah lainnya adalah timah.
Negeri ini merupakan negara penghasil timah terbesar kelima di dunia. Selain
timah, mineral-mineral lain yang ditambang dari perut bumi dalam jumlah besar
adalah kapur, batu bara, dan bijih besi.
Selain itu, sekitar 80 persen dari seluruh
penduduk Thailand adalah orang Thai, yang terdiri atas orang Siam (53%) dan
orang Lao (27%). Bahasa resmi negeri ini adalah bahasa Thai, yang merupakan
bahasa ibu dari sekitar 80 persen penduduknya. Sebagai bahasa kedua menggunakan
bahasa Inggris. Namun sebagian penduduk masih menggunakan bahasa ibunya, seperti
bahasa Cina di kalangan orang Cina dan bahasa Melayu di kalangan orang
Melayu.
Yang menarik, di antara kelompok-kelompok
minoritas, yang terbesar adalah orang Cina, yang jumlahnya mencapai sekitar 12
persen dari seluruh penduduk negeri ini. Adapun kelompok minoritas kedua
terbesar adalah orang Melayu (4%) yang mendiami propinsi-propinsi yang
berbatasan dengan Malaysia di selatan.
Seperti pada umumnya orang Cina di Indonesia,
orang Cina di Thailand hidup di pusat-pusat perdagangan dan industri. Sedang
orang Melayu lebih banyak di sektor pertanian dan mencari ikan.
Sebagai minoritas, keberadaan masyarakat
muslim di negeri ini cukup menggembirakan. Aktivitas syiar Islam berkembang
dinamis dan menggairahkan. Penyebaran masyarakat muslim di Thailand pada awalnya
pun dibawa oleh para penduduk dari wilayah selatan ini.
Secara administratif wilayah Pattani dibagi
dalam empat propinsi, yaitu Pattani, Satun, Narathiwat, dan Yala. Masyarakat
muslim di empat propinsi ini merupakan mayoritas. Bahasa sehari-harinya pun
bahasa Melayu.
Meskipun minoritas dan sering mendapatkan
gangguan dari para gerilyawan komunis, ummat Islam di Thailand tetap eksis dan
bergairah dalam mengembangkan keyakinannya. Terasa benar oleh kami, mereka
semakin berbesar hati bila dikunjungi saudara-saudaranya dari negeri lain,
seperti yang kami lakukan. Silaturrahmi memang sering membawa berkah, terutama
pada segi-segi yang jarang kita sadari.