Perjalanan ke Papua (dulu Irian Jaya)-bagi
sebagian orang-laksana melanglang ke ujung dunia. Perlu waktu satu minggu
mengarungi laut dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, atau 8 jam perjalanan
pesawat udara dari Jakarta, untuk tiba di kawasan paling timur Indonesia itu.
Wajar bila banyak hal tentang kawasan ini belum terpublikasikan. Lebih-lebih
yang berkaitan dengan dakwah Islam dan komunitas kaum Muslimin di
sana.
Maka wajar bila hingga hari ini banyak orang
bertanya: Adakah orang Islam di Papua? Adakah komunitas pribumi yang menganut
Islam sebagai agama mereka? Pertanyaan bernada skeptis ini sama sekali bukan hal
aneh. Apalagi selama ini pandangan umum beranggapan bahwa di Papua tidak
terdapat penduduk pribumi (asli) yang Muslim. Bahkan ada semacam kesimpulan yang
cukup kereng, bahwa Papua itu identik dengan Kristen. Atau Papua sama dengan
Kristen! Wow. Tentu ini sebuah pencitraan keliru sebagaimana Ambon sama dengan
Kristen, atau Batak mesti Kristen. Padahal dari sekitar 2,4 juta keseluruhan
penduduk Papua, sekurang-kurangnya 900 ribu di antara mereka adalah
Muslim.
Gubernur pertama Papua bahkan seorang Muslim
yakni H. Zainal Abidin Syah(1956-1961) yang merupakan Sultan Tidore. Kemudian
disusul Gubernur Muslim lainnya yakni P. Parmuji, Acup Zaenal, Sutran dan
Busiri. Sejak Gubernur Busiri sampai sekarang, Pimpinan Kepala Daerah (Gubernur)
dijabat oleh Kristen.
Tidak hanya itu. Faktanya, menurut data
sejarawan-baik dari kalangan Kristen maupun Islam-menyatakan bahwa Islam bukan
saja pernah eksis di Papua, tapi juga hadir lebih dulu hadir dua abad dibanding
para missionaris Kristen. Islam hadir di kawasan ini pada abad ke XVI melalui
pengaruh Kesultanan Bacan di Maluku(1520 M). Seorang sejarawan berkebangsaan
Inggris yakni Thomas W. Arnold dalam bukunya The
Preaching of Islam menjelaskan: ” …Agama ini (Islam)
pertama kali dibawa masuk ke pesisir barat (mungkin di Semenanjung Onin) oleh
para pedagang yng berusaha sambil berdakwah di kalangan penduduk dan itu terjadi
sejak tahun 1606…(hal. 350)”
Dalam buku “Nieuw Guinea” WC.Klein
menceritakan sbb: “de Heer Pieters maakete on 1664
eenwreksnaar Onin. Indie raiswaren ook een aantal mensen uit Soematera, Waarin
de Heer Abdul Ghafur betrokken is.” ( Tuan Pieters
pada tahun 1664 melakukan perjalanan ke Onin di mana ikut serta beberapa orang
dari Sumatera, termasuk Abdul Ghafur)
Sementara kedatangan Kristen ke kawasan ini
dimulai saat gerakan para Zending atau misi Krinten Protestan dari Jerman(
C.W.Ottow dan G.J.Geissler) tiba di pulau Mansinam, Manukwari yang terjadi pada
5 Februari 1855. Secara resmi, bahkan, Kelompok Studi Etnografi–yang anggotanyaa terdiri atas kelompok
intelektual Kristen–Irian
Jaya mencatat kedatangan Kristen Protestan ke Ibukota Jayapura baru terjadi pada
tahun 1930.
Awal abad pertama dakwah Islam di kawasan ini,
sejumlah daerah seperti Waigeo, Misool, Waigama, Kerajaan Salawati, Kerajaan
Fatagar dan Kerajaan Raja Ampat dan daerah-daerah di semenanjung Onin di
Kabupaten Fak-Fak telah memeluk Islam dan memiliki kekuasaan dalam arti
sebenarnya. Di kala itu mereka telah dapat mengatur tata hukum dan
kemasyarakatan berlandaskan ketentuan hukum Islam seperti terkait dengan
pernikahan, pembagian hak waris, shalat dan penyelenggaraan jenazah.(lihat buku
“Islam atau Kristen Agama Orang Irian?, Pustaka Dai, hal. 155)
Saat ini, secara umum, perkembangan dakwah di
sana relatif lebih menggembirakan, walau dengan gerak lamban.
Bila menyaksikan gerak dakwah Muslim di
kawasan ini sekarang, sungguh mereka menghadapi tantangan yang tidak kecil dari
lingkungannya yang bernuansa Nasrani. Hal itu terjadi karena kegigihan para
missionaris yang hampir merata memberikan pelayanan rohani di seluruh kawasan.
Mereka datang dan berkumpul dari berbagai negara seperti Australia, Amerika,
Canada dan Belanda, sudah puluhan bahkan ratusan tahun, malang melintang di
kawasan ini, dengan dukungan dana tak terbatas dan peralatan sangat
canggih.
Selain puluhan pesawat perintis mereka juga
memiliki tak kurang 400 lapangan terbang perintis di seluruh pedalaman Papua.
Sekadar catatan, untuk pembinaan warga yang ada di pedalaman tak jarang aparatur
pemerintah justru menyewa pesawat dari para Missionaris ini. Dengan kata lain,
para missionaris ini lebih menguasai medan/wilayah Papua dari aparat
sendiri!
Namun demikian kendati dengan susah payah,
sejumlah kawasan komunitas Muslim semkin berkembang di berbagai tempat. Sebutlah
misalnya di daerah Kokas, Kaimana, Patipi, Rumbati, dan di Semenanjung Onin.
Demikian juga di kabupaten Sorong terdapat Kampung Islam di Waigeo, Misool,
Doom, Salawati, Raja Ampat dan di Teminabuan. Di Manukwari kampung Islam
terdapat di Bintuni, Babo dan di Teluk Arguni. Sedangkan di Kabupaten Jayawijaya
perkampungan Islam terdapat di Walesi, Hitigima, Kurima, Megapura, Kurulu,
Assologima, dll.
Bahkah yang menggembirakan ada ribuan penduduk
asli yang beralih ke Islam baik dari kalangan awam, kepala suku, maupun mantan
rohaniawan Kristen.
Selain di Fak-fak sebagai “Serambi Mekkah”-nya Islam– kawasan ini sekaligus sebagai pemasok
muballigh dan guru agama di pelosok Papua– ribuan komunitas Muslim dari kalangan pribumi juga tersebar di 14
tempat terpisah di Kabupaten Jayawijaya. Seperti di Desa Walesi dengan kepala
sukunya Bapak H Aipon Asso, di sana terdapat 600 Muslim yang masuk Islam 26 Mei
1978. Efek domino syahadat terus merambat ke Megapura. Di sana terdapat 165
Muslim penduduk asli yang dipimpin oleh kepala sukunya yang bernama Musa
Asso.
Komunitas Muslim asli juga terdapat di
berbagai kecamatan seperti di Kurulu 61 orang, Kelila 131 orang, Bakondidi 57
orang, di karubaga 59 orang, di Tiom 79 orang, di Makki 40 orang, di Kurima 18
orang, di Assologima 184 orang, di Oksibil 20 orang, di Okbibab 10 dan di
Kiwirok 15 orang. Sedang di kota Wamena sendiri sekalipun bercampur dengan para
pendatang dari Jawa, Bugis dan Sumatera jumlah komunitas Muslim di sini mencapai
tidak kurang dari 5000 orang.
Dari kalangan kepala suku dan pendeta yang
masuk Islam selain H.Aipon Asso dan Mussa Asso di
atas, sebagian dapat disebutkan di sini seperti Ismail Yenu(68),
seorang Kepala Suku Besar Yapen-Waropen
Manukwari; Wilhelmus Waros Gebze (53), Kepala Suku Marin di Merauke; dan Romsumbe, pendeta yang masuk
Islam bersama 4 orang anaknya di Biak Numfor. “Saya
bangga menjadi Muslim,” kata Jamaluddin (60) putra daerah kelahiran Fak-fak,
saat ditemui di Masjid Merdeka Manukwari bersama rombongan khuruj Jamaah Tabligh.
Satu hal yang menggembirakan, di sini ada
pemandangan menyejukkan dengan “bersatunya” dua ormas terbesar di Indonesia
yakni NU-Muhammadiyah di sebuah institusi pendidikan. Kedua ormas yang di luar
tempat ini (Papua) kerap eker-ekeran (ribud, red), di sini mereka membentuk yayasan gabungan bernama
Yayasan Penddidikan Islam (Yapis) pada 15 Desember 1968.
Keberadaan Yapis ini bukan saja mendapat
respon positif dari kalangan Muslim, tapi juga orang tua non-Muslim. Mereka
menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah ini dengan alasan berfariasi antara lain:
disiplin yang tinggi dan melarang murid untuk mabuk-mabukkan-mabuk merupakan
budaya sebagian masyarakat yang masih terasa sulit dihilangkan.
Saat ini kedudukan Yapis di mana masyarakat
Papua hampir sama sejajar dengan Lembaga Pendidikan Kristen Kristus Raja. Ada
ratusan sekolah di babah naungan Yapis dan dua Perguruan Tinggi ( STIE dan STAIS
) yang bernaung di bawah bendera Yapis.
Selain NU dan Muhammaddiyah yang sudah lama
malang melintang di kawasan yang terkenal ganas malarianya ini, sejumlah
institusi dakwah dapat disebutkan di sini seperti Dewan Dakwah Islamiyah,
Hidayatullah, Persatuan Umum Islam, LDII, Pondok Pesantren Karya Pembangunan
dll.
Otonomi Khusus yang Menghawatirkan
Program otonomi khusus bagi Papua dari satu
sisi menggembirakan masyarakat. Namun tidak sepenuhnya bagi masyarakat Muslim.
Utamanya bila dilihat dari porsi hak mengatur wilayah. Dari 29 Kabupaten yang
ada sekarang, misalanya, hanya ada dua bupati yang Muslim, yakni di Kabupaten
Fak-fak dan di Keimana. Sisanya dipegang oleh Kristen hingga camat dan lurahnya.
Sebutlah di Kabupaten Babo, Bintuni, Misool dll di mana konsenstrasi Muslimnya
mayoritas, namun bupatinya dipegang Krisiten. “Problem kita memang sumberdaya
Muslim-pribumi yang umumnya masih rendah,” kata Drs. H.Kasibi Suwiryadi(59),
tokoh sejarah Muslim Papua.
“Inilah di antara program dakwah yang merti
ditingkatkan. Yakni membenahi SDM Muslim agar mereka dapat berkiprah membangun
kampung halaman sendiri.” Jelas Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM)
yang juga dosen Universitas Cenderawasih ini yang sudah tiga puluh tahun
berdakwah di prorinsi Indonesai paling timur itu. (Ali Athwa, wartawan
Hidayatullah, penulis buku “Islam atau Kristen Agama
Orang Papua?”)