Cerita ini mirip ketika di Belanda dulu saya
berjumpa dengan jamaah Pakistan campuran Maroko yang sedang khuruj di kota
Groningen.
Di sela-sela kuliah, biasanya saya
menyempatkan diri untuk sholat jamaah di masjid dekat kampus. Setahu saya ada
beberapa masjid di Kota Groningen dan 3 diantaranya sempat saya kunjungi. Satu
masjid dekat kampus saya, kami menyebutnya masjid Maroko karena menurut teman
saya masjid itu dulunya perpustakaan yang dibeli oleh orang-orang Maroko
kemudian disulap menjadi masjid. Ukurannya tidak terlalu besar kira-kira
kapasitas 200-an orang. Di Belanda ada peraturan, suatu bangunan sekalipun boleh
difungsikan sebagai masjid, namun bentuk dan arsitektur bangunan tidak boleh
diubah, hanya interior dalamnya yang boleh disesuaikan dengan kebutuhan.
Alhasil, masjid itu lebih mirip rumah Belanda kuno dan tidak ada tanda-tanda
masjid pada umumnya seperti kubah, menara ataupun ruang imam yang biasanya
menonjol keluar.
Bagi saya dan pada umumnya mahasiswa muslim
yang kuliah di Groningen University maupun Hanzehogeschool, masjid Maroko ini
merupakan tempat sholat yang paling dekat dengan kampus maupun dengan flat
tempat tinggal mahasiswa. Disamping itu, jalan menuju ke kampus melewati masjid
tersebut sehingga memudahkan aksesnya.
Satu lagi keuntungan masjid tersebut bagi saya
adalah toko makanan halal yang ada didalamnya. Sekalipun ukuran tokonya hanya
sekitar 3×4 m2 namun isinya cukup lengkap untuk kebutuhan sehari-hari. Ragu2
rasanya kalau harus beli daging potong maupun ayam potong di toko maupun pasar
umum, sehingga toko di masjid tersebut menjadi langganan saya untuk santapan
sehari-hari.
Masjid kedua di kota Groningen yang pernah
saya kunjungi adalah Masjid Turki. Kami menyebutnya begitu karena masjid ini
dibeli oleh orang-orang Turki dan mereka pula yang sehari-hari mengurusnya.
Letaknya kira-kira 2 km dari masjid Maroko. Agak jauh dari areal kampus maupun
flat mahasiswa.
Masjid Turki ini cukup besar, ukurannya
kira-kira 4 kali masjid Maroko, dengan kapasitas sekitar 800-1000 orang.
Uniknya, masjid Turki ini awalnya adalah Gereja Tua yang sudah tidak dipakai dan
dibeli oleh orang Turki kemudian diubah menjadi masjid. Di Belanda memang ada
aturan, bangunan tempat ibadah boleh dijual tapi tidak boleh berubah fungsi
menjadi rumah ataupun pertokoan maupun kantor. Fungsinya harus tetap sebagai
tempat ibadah atau tempat sosial. Maka banyak gereja-gereja di Belanda yang
dibeli oleh masyarakat muslim kemudian disulap menjadi masjid.
Hanya saja, seperti Masjid Maroko di atas,
bentuk luar masjid ini pun masih bentuk luar gereja. Benar-benar eksterior
gereja. Yang berubah adalah lambang salib yang ditiadakan dan diganti bulan
sabit. Sedangkan menara dan jam penanda waktu yang menjadi ciri khas
gereja-gereja eropa masih tetap seperti sediakala.
Ada yang khas pada masjid Turki ini. Di dalam
masjid ada meja biliard, juga disiapkan papan-papan catur dan rak-rak koran.
Orang-orang turki yang akan sholat, terutama sholat isya atau maghrib, sambil
menunggu waktu sholat tiba, mereka kadang2 main billiard atau catur. Ah… memang
masih terbawa nuasa sekulerisasi di negeri mereka. Namun itu lebih baik daripada
mereka tidak sholat… iya kan.
Di masjid Turki saya belum pernah melihat
aktivitas jamaah tabligh. Tapi di masjid Maroka saya pernah melihat jamaah
Malaysia sedang khuruj dan i’tikaf di situ, tapi waktu itu aku pas lagi sangat sibuk dg
tugas-tugas kuliah sehingga tdk terlalu perhatian. Sekalipun waktu di Jakarta
saya pernah aktif khuruj dari tahun 1994 – 2000, namun ketika kuliah di Belanda tahun 2002-2003 tsb saya
sudah cukup lama meninggalkan aktivitas khuruj shg hati saya belum tersentuh
untuk bergerak lagi. Yang pasti, Alloh masih belum membuka hidayah untuk saya
kala itu.
Saya sungguh mengerti, perasaan seperti ini
mungkin juga dirasakan oleh saudara-saudara muslim yang lain ketika datang
rombongan tabligh yang umumnya berjumlah 7-10 orang ke masjidnya. Pertama yang
dirasakan masyarakat adalah perasaan aneh. Aneh saja, ada orang mau jauh-jauh
datang ke tempat kita hanya untuk tidur di masjid, kadang masak-masak di masjid
dan kelililng ke rumah-rumah warga untuk ngajak orang ke masjid. Padahal
kadang-kadang yang diajak ke masjid itu adalah orang yang setiap hari sudah ke
masjid, atau sudah jadi pengurus DKM. Bahkan mungkin penyumbang terbesar di
masjid itu. Aneh juga orang-orang ini berceramah atau baca buku fadhilah amal
setiap selesai sholat.
Perasaan kedua, adalah rasa risih, kok ada
orang-orang asing, dengan pakaian-pakaian asing dan penampilan berjenggot
seperti pakaiannya Diponegoro atau imam Bonjol. Pakaian Jadul bener… Sebagian
ada yang berpenampilan rapi tapi kebanyakan penampilan ala kadarnya, mungkin
bajunya sudah lama tidak diseterika. Tapi rata-rata mereka memakai minyak wangi,
bersiwak dan kadang-kadang pakai celak mata. Apa mereka teroris ya, apa ngak ya…
Kalo teroris kok nekat banget tidur di masjid dan pake pakaian yang jadul gitu…
apa ngak cepet diendus aparat atau intel.
Perasaan ketiga, cuek…, biarin saja asalkan
mereka tidak menganggu masyarakat. Itung-itung bisa mendengarkan ceramah gratis,
daripada ngundang ustadz dari jauh kan harus bayar. Orang-orang ini datang kan
ngak dibayar dan masak sendiri. Ya… udah biarin aja, siapa tahu dia bisa
mengajak orang-orang di jalan-jalan yang ngak pernah ke masjid itu biar pada ke
masjid.Tapi kalo ngajak saya yah entar dulu… paling saya bilang IngsyaAlloh…
Apalagi ngajak-ngajak keluar 3 hari bagaimana ngatur waktunya kegiatanku kan
bejubel… hiii…hiii aneh-aneh aja nich orang.
Perasaan keempat, unik…, ini unik dan menarik
juga… mungkin enak juga kali ya, tidur di masjid… bareng orang-orang ini,
kayaknya mereka orang baik-baik kok. Mereka ramah-ramah dan ngak menutup diri.
Kalau ditanya satu pertanyaan saja mereka langsung menyambut antusias. Sungguh
orang-orang ini sangat bersahabat. Mereka nampaknya bukan orang jahat. Hanya
saja ini orang asing… jangan-jangan nanti ada maksud apa… apa. Bagaimana ya…
Udahlah ngapain ngambil resiko terjadi apa… apa, lagian orang di kampung ku juga
ngak ada yang ngikut gitu2.
Selama di Belanda saya tidak terpikir untuk
khuruj bersama rombongan jamaah tabligh. Disamping saya tidak yakin ada
aktivitas khuruj di negeri eropa, saya juga ingin lebih konsentrasi
menyelesaikan kuliah secepatnya. Maklum, waktu itu aku meninggalkan istri yang
masih hamil anak pertama kami. Ah berat amat rasanya, baru menikah 2 bulan sudah
harus berpisah gara-gara ngambil program master. Tapi mertua saya waktu itu
sangat mendukung saya, juga istri saya dan semua keluarga besar juga mendukung,
sehingga kelahiran ank pertama juga saya tidak menungguinya. Ah… untuk dapat
dunia, pengorbanannya demikian besar.
Kadang2 saya berpikir, kalau misalnya saya
tinggalkan istri “hamil anak pertama” itu untuk khuruj/dakwah, dan bukan untuk
kuliah S2, boleh ngak mertua saya ya… mau ngak ya istri saya he… he… Lucu juga
ya… kalo untuk urusan dunia pasti boleh tapi untuk urusan dakwah dan agama
“beraaaaaat banget”. Memang setannya banyak… dan setan juga punya banyak dalil
he…he…
Namun saya tidak mengerti, ketika suatu hari
salah seorang jamaah Pakistan mendekati saya dan mengajak saya keluar 3 hari,
saya menyetujuinya. Jadilah, saya ikut keluar (khuruj) beberapa hari bersama
mereka, kami mengunjungi rumah-rumah orang muslim satu per satu. Jamaah tersebut
sudah memegang alamat nama-nama muslim di kota tsb shg ketika tidak berjumpa di
rumah satu maka akan bergerak ke rumah lainnya.Demikian seterusnya sampai hari
itu habis.
Kadang kami ketemu dengan tuan rumah, maka
kami berbincang-bincang dengannya tentang sholatnya bagaimana, kerjanya
bagaimana, suasana agama di kantor bagaimana dll. Seringkali ngak ketemu dan
kami balik lagi di lain hari.
Indah sekali…. yang lebih berkesan bagi saya,
ketika kami mengunjungi assylum seeker, tempat “penahanan” sementara imigran
gelap yg umumnya dari afrika. Kami berbincang-bincang dengan mereka ttg latar
belakang kehidupan mereka di sana, tentang keluarganya…. dan terutama
amalan-amalan ibadahnya seperti sholat… dll.
Bagi yang belum memahaminya, maka usaha dakwah
ini sepertinya buang-buang waktu. Namun bagi yang telah ikut 3 hari misalnya,
maka usaha agama ini adalah tujuan dari diturunkannya para nabi dan rosul, juga
tujuan dari kehidupan kita. Hakekatnya usaha dakwah ini adalah untuk
memeperbaiki diri sendiri dengan cara mengajak orang lain membicarakan iman dan
amal sholeh.