Maulana Muhammad Ilyas Al
Kandahlawi
Penggagas Jamaah Tabligh
Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawy lahir
pada tahun 1303 H (1886) di desa Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar
Prades, India. Ayahnya bernama Syaikh Ismail dan Ibunya bernama Shafiyah
Al-Hafidzah. Keluarga Maulana Muhammad Ilyas terkenal sebagai gudang ilmu agama.
Saudaranya antara lain Maulana Muhammad yang tertua, dan Maulana Muhammad
Yahya.
Ayah beliau, Syaikh Muhammad Ismail adalah
seorang ruhaniwan besar yang suka menjalani hidup dengan ber-uzhlah, berkhalwat
dan beribadah, membaca Alquran serta mengajarkan Alquran dan ilmu-ilmu agama.
Adapun ibunda beliau, Shafiyah Al-Hafidzah, adalah seorang Hafidzah Alquran.
Maulana Muhammad Ilyas pertama kali belajar agama pada kakeknya, Syaikh Muhammad
Yahya. Beliau adalah seorang guru agama pada madrasah di kota kelahirannya.
Kakeknya adalah penganut mazhab Hanafi dan teman dari seorang ulama dan penulis
Islam terkenal, Syaikh Abul Hasan Al-Hasani An-Nadwi. Sejak saat itulah beliau
mulai menghafal Alquran. Dari kecil telah tampak ruh dan semangat agama dalam
dirinya. Beliau memilki kerisauan terhadap umat, agama dan dakwah. Sehingga
Allamah Asy-Syaikh Mahmud Hasan yang dikenal sebagai Syaikhul Hind (guru besar
ilmu Hadis pada madrasah Darul Ulum Deoband) pernah mengatakan, “sesungguhnya
apabila aku melihat Maulana Ilyas aku teringat kisah perjuangan para
sahabat.”
Pada suatu ketika saudaranya, Maulana Muhammad
Yahya, pergi belajar kepada seorang alim besar dan pembaru yang ternama yakni
Syaikh Rasyid Ahmad Al-Gangohi, di desa Gangoh, Utar Pradesh, India. Maulana
Muhammad Yahya belajar membersihkan diri dan menyerap ilmu dengan bimbingan
Syaikh Rasyid. Hal ini membuat Maulana Muhammad Ilyas tertarik untuk belajar
pada Syaikh Rasyid sebagaimana kakaknya. Akhirnya Maulana Ilyas memutuskan untuk
belajar agama menyertai kakaknya di Gangoh. Akan tetapi selama tinggal dan
belajar di sana Maulana Ilyas selalu menderita sakit. Sakit ini ditanggungnya
selama bertahun-tahun lamanya. Tabib Ustadz Mahmud Ahmad putra dari Syaikh
Gangohi sendiri telah memberikan pengobatan dan perawatan pada beliau. Sakit
yang dideritanya menyebabkan kegiatan belajarnya pun menurun, akan tetapi beliau
tidak berputus asa. Banyak yang menyarankan agar beliau berhenti belajar untuk
sementara waktu, tapi beliau menjawab, “apa gunanya aku hidup jika dalam
kebodohan”.
Dengan izin Allah SWT, Maulana pun
menyelesaikan pelajaran Hadis Syarif, Jami’at Tirmidzi dan Shahih Bukhari. Dan
dalam jangka waktu empat bulan beliau sudah menyelesaikan Kutubus Sittah.
Tubuhnya yang sering terserang sakit semakin membuat beliau bersemangat dalam
menuntut ilmu. Begitu pula kerisauannya bertambah besar terhadap keadaan umat
yang jauh dari syari’at
Islam. Beliau akhirnya berkenalan dengan Syaikh Khalid Ahmad As-Sharanpuri
penulis kitab Bajhul Majhud Fi Hilli Alfazhi Abi Dawud dan berguru kepadanya.
Semakin bertambah ilmu yang dimiliki membuat beliau semakin tawaddu’ serta dihormati di kalangan para ulama
dan masyaikh. Suatu ketika di Kandhla ada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh
ulama-ulama besar. Di antaranya terdapat nama Syaikh Abdurrahman Ar-Raipuri,
Syaikh Khalil Ahmad As-Sharanpuri dan Syaikh Asyraf Ali At-Tanwi. Waktu itu tiba
waktu shalat Ashar. Mereka meminta Maulana Ilyas untuk mengimami shalat
tersebut. Setelah kematian kakaknya, Maulana Muhammad Yahya, pada 9 Agustus
1925, orang ramai meminta kepada Maulana Ilyas untuk menggantikan kakaknya di
Nizamuddin. Waktu itu beliau sedang menjadi salah seorang pengajar di Madrasah
Mazhahirul Ulum. Akhirnya, setelah mendapat izin dari Maulana Khalil Ahmad
dengan pertimbangan jika tinggalnya di Nizamuddin membawa manfaat maka Maulana
Ilyas diberi kesempatan untuk berhenti mengajar.
Beliau akhirnya pergi ke Nizamuddin, ke
madarasah warisan ayahnya yang kosong akibat lama tidak dihuni. Dengan semangat
mengajar yang tinggi beliau membuka kembali madrasah tersebut. Semangat yang
tinggi untuk memajukan agama, beliau pun mendirikan Maktab di Mewat. Namun
kondisi geografis yang agraris menyebabkan masyarakatnya lebih menyukai
anak-anak mereka pergi ke kebun atau ke sawah daripada ke Madrasah atau Maktab
untuk belajar agama, membaca atau menulis. Maulana Ilyas dengan terpaksa meminta
orang Mewat untuk menyiapkan anak-anak mereka untuk belajar dengan biaya yang
ditanggung oleh Maulana sendiri. Besarnya pengorbanan Maulana hanya untuk
memajukan pendidikan agama bagi masyarakat tidak mendapatkan perhatian. Mereka
enggan menuntut ilmu dan lebih senang hidup dalam kondisi yang sudah dijalani
turun temurun. Melihat keadaan Mewat itu, semakin menambah kerisauan beliau akan
keadaan umat Islam. Kunjungan-kunjungan diadakan bahkan madrasah-madrasah banyak
didirikan, tetapi hal itu belum dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi
masyarakat Mewat. Dengan izin Allah timbullah keinginannya untuk mengirimkan
jamaah dakwah ke Mewat.
Pada tahun 1351 H/1931 M, beliau menunaikan
haji yang ketiga ke Tanah Suci Makkah. Kesempatan tersebut dipergunakan untuk
menemui tokoh-tokoh India yang ada di Arab guna mengenalkan usaha dakwah. Selama
di Makkah, jamaah bergerak setiap hari sejak pagi sampai petang, usaha dakwah
terus dilakukan untuk mengajak orang taat kepada perintah Allah. Dalam pandangan
Maulana Muhammad Ilyas, dakwah merupakan kewajiban umat Nabi Muhammad SAW. Pada
prinsipnya setiap orang yang mengaku mengikuti ajaran Nabi Muhammad memiliki
kewajiban mendakwahkan ajarannya, yaitu agar selalu taat kepada Allah dengan
cara yang telah dicontohkan Rasulullah. Sepulang dari haji, Maulana mengadakan
dua kunjungan ke Mewat, masing-masing disertai jamaah dengan jumlah sekitar
seratus orang. Dalam kunjungan tersebut beliau selalu membentuk jamaah-jamaah
yang dikirim ke kampung-kampung untuk ber-jaulah (berkeliling dari rumah ke
rumah) guna menyampaikan pentingnya agama. Beliau sepenuhnya yakin bahwa
kebodohan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah
yang menjadi sumber kerusakan. Dari Mewat inilah secara berangsur-angsur usaha
tabligh meluas ke Delhi, United Province, Punjab, Khurja, Aligarh, Agra,
Bulandshar, Meerut, Panipat, Sonepat, Karnal, Rohtak dan daerah lainnya. Begitu
juga di bandar-bandar pelabuhan banyak jamaah yang tinggal dan terus bergerak
menuju tempat-tempat yang ditargetkan sepeti halnya daerah Asia Barat.
Terbentuknya jamaah ini adalah dengan izin Allah melalui kerisauan seorang
Maulana Muhammad Ilyas. Kemudian menyebarlah jamaah-jamaah tabligh yang membawa
misi ganda yaitu ishlah diri (perbaikan diri sendiri) dan mendakwahkan kebesaran
Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Perkembangan jamaah ini semakin hari
semakin tampak. Gerakan jamaah tidak hanya tersebar di India tetapi sedikit demi
sedikit telah menyebar ke barbagai negara. Hanya kekuasaan Allah yang dapat
memakmurkan dan membesarkan usaha ini.
Pada hari terakhir dalam sejarah hidupnya,
Maulana mengirim utusan kepada Syaikhul Hadits Maulana Zakariya, Maulana Abdul
Qodir Raipuri, dan Maulana Zafar Ahmad, bahwa beliau akan mengamanahkan
kepercayaan sebagai amir jamaah kepada sahabat-sahabatnya seperti Hafidz Maqbul
Hasan, Qozi Dawud, Mulvi Ihtisamul Hasan, Mulvi Muhammad Yusuf, Mulvi Inamul
Hasan, Mulvi Sayyid Raza Hasan. Pada saat itu terpilihlah Mulvi Muhammad Yusuf
sebagai pengganti Maulana Muhammad Ilyas dalam memimpin usaha dakwah dan
tabligh. Pada sekitar bulan Juli 1944 beliau jatuh sakit yang cukup parah.
Kondisi tubuhnya yang lemah merupakan bukti bahwa beliau bersungguh-sungguh
menghabiskan waktu mengembara dari satu tempat ke tempat lain bersama dengan
jamaah untuk mendakwahkan kebesaran Allah. Akhirnya Maulana menghembuskan nafas
terakhirnya, beliau pulang ke rahmatullah sebelum adzan Shubuh.
Beliau tidak banyak meninggalkan karya-karya
tulisan tentang kerisauannya akan keadaan umat. Buah pikiran beliau dituang
dalam lembar-lembar kertas surat yang dihimpun oleh Maulana Manzoor
Nu’mani dengan judul Aur Un
Ki Deeni Dawat yang ditujukan kepada para ulama dan seluruh umat Islam yang
mengambil usaha dakwah ini.
Usaha Dakwah dan Tabligh yang sekarang telah
mendunia ini, bukanlah usaha yang muncul dengan tiba-tiba. Usaha yang pernah
membawa kejayaan umat di masa lalu ini dibangkitkan kembali melalui kerisauan,
pengkajian, pengalaman, dan pengorbanan yang mendalam dari Maulana Ilyas
Kandahlawi (rahmatullah alaih). Usaha ini dimulai di kalangan orang Meo yang
mendiami kawasan Mewat di sebelah selatan Delhi, India.
Orang-orang Meo, meskipun secara lahir banyak
yang mengaku beragama Islam, tetapi dari segi adat istiadat, ibadah dan
kebudayaan sangat jauh dari nilai-nilai Islam, bahkan sebagian besar terpengaruh
ajaran lain yang berkembang di India. Di samping merayakan hari raya Islam
mereka juga merayakan hari raya agama lain. Umumnya mereka buta huruf, berakhlak
buruk, kasar dan terkenal sebagai peminum ulung, mereka juga dikenal suka
merampok dan mencuri.
Mereka menjalani kehidupan semacam itu selama
beratus-ratus tahun, keadaan seperti ini membuat mereka tertinggal dan tersisih
dari dunia luar. Meskipun mereka hidup di dekat pusat pemerintahan Delhi, mereka
selalu dalam keadaan terasing dan terpinggirkan. Pendek kata, sifat dan tabiat
mereka mirip seperti kaum jahiliyyah di masa Nabi Muhammad SAW, di kalangan
seperti inilah Maulana Ilyas memulai gerakan dakwah.
Hubungan dengan orang Meo, sebenarnya telah
dirintis oleh Maulana Muhammad Ismail, ayahanda Maulana Ilyas sendiri, kebetulan
beliau tinggal di Basthi Nizamuddin yang merupakan jalan masuk ke Mewat.
Hubungan ini digunakan sebaik-baiknya oleh Maulana Ismail dan kemudian
dilanjutkan oleh Maulana Ilyas untuk menarik mereka kembali kepada kehidupan
agama yang sebenarnya.
Setiap ada waktu untuk bertemu, Maulana selalu
menggunakan kesempatan tersebut untuk meningkatkan pengetahuan agama dan
membiasakan mereka dengan peraturan dan rukun-rukun syariat. Keluarga Maulana
juga memelihara anak-anak Mewat dan mendidik mereka dalam madrasah dan kemudian
mengirim kembali ke Mewat untuk berdakwah. Dengan cara ini, sedikit kesadaran
mengenai pentingnya agama mulai tumbuh di kalangan mereka.
Untuk lebih menanamkan lagi pengetahuan agama
di kalangan mereka, Maulana Ilyas menyarankan agar mereka mendirikan madrasah
untuk mendidik anak-anak mereka. Setiap kali orang Meo mengundang Maulana,
pendirian Madrasah ini selalu menjadi hal yang disyaratkan oleh
Maulana.
Bagi orang Mewat, mendirikan madrasah
merupakan syarat yang yang sangat berat dan hampir merupakan hal yang mustahil,
mereka beralasan anak-anak mereka tidak dapat lagi bekerja dan berarti
mengurangi pendapatan mereka. Tetapi dengan bujuk rayu, akhirnya madrasah ini
berhasil didirikan. Maulana berkata kepada mereka, “Beri aku murid , aku akan
menyediakan uang!” Semua biaya untuk keperluan madrasah keluar dari saku beliau.
Alhamdulillah, akhirnya dalam waktu singkat, puluhan bahkan ratusan madrasah
kemudian berhasil didirikan.
Kerisauan Maulana Ilyas, tidak berhenti sampai
di situ saja. Dalam pandangan beliau, ternyata madrasah ini tidak memberi
pengaruh yang signifikan dalam usaha perbaikan agama. Madrasah tidak bebas dari
pengaruh lingkungan yang tidak mendukung, di samping itu para siswa yang telah
lulus juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk meningkatkan iman.
Pengaruh madrasah ini juga hanya terbatas
untuk anak-anak yang sebenarnya belum matang kejiwaannya, sementara orang dewasa
hampir tidak tersentuh sama sekali, padahal sebenarnya orang dewasa lah yang
paling memerlukan usaha perbaikan ini, karena mereka para pemimpin rumah tangga
yang akan mengemudikan kendali keluarga, yang merupakan unit terkecil dari
sebuah masyarakat.
Pengalaman inilah yang menyadarkan Maulana
bahwa usaha perbaikan ini tidak bisa bergantung pada perbaikan diri secara
perorangan atau membatasi hanya kepada kelas tertentu saja. Perbaikan ini harus
diusahakan ke atas masyarakat umum. Atas dasar itu lah kemudian dibentuk
jamaah-jamaah dan dikirim ke berbagai wilayah di sekitar Mewat, seperti ke
Kandhla, kampung asal Maulana Ilyas sendiri dan berbagai tempat
lainnya.
Bukan perkara yang mudah untuk untuk meminta
orang agar keluar meninggalkan rumahnya dan menangguhkan pekerjaan mereka walau
sebentar, belum lagi kesulitan di tempat mereka keluar, apakah mereka mau
menerima orang-orang Mewat yang biasa bertabiat kasar dan berkelakuan kurang
baik tersebut.
Usaha membentuk jamaah ini bukan usaha yang
mudah, usaha ini harus melalui berbagai rintangan dan jalan yang terjal. Untuk
usaha ini Maulana Ilyas telah mencurahkan segala pengorbanan yang beliau bisa
lakukan berupa waktu, pikiran, kerisauan dan harta benda beliau.
Hari ini, kita telah menerima usaha dakwah
dalam bentuk yang “jadi”. Mudah-mudahan, dengan segala mujahadah, kita dapat
melanjutkan apa yang telah dirintis oleh Maulana Ilyas dan para masyaikh
tersebut. Insyaallah