Semasa belajar di Mekkah, KH Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyyah, bersahabat dengan Maulana Muhammad Ilyas, pendiri Jamaah
Tabligh – gerakan dakwah mendunia yang berpusat di New Delhi India. Demikian
ditulis oleh Zaim Uchrowi dalam bukunya Authorized Biography “Muhammad Amien
Rais Memimpin dengan Ruhani Ruhani (cetakan ke III, Juni 2004 hal
160).
Di kota suci tersebut, KH Ahmad Dahlan
diceritakan juga berteman dengan KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU (Nahdlatul
Ulama). Kalau KH Ahmad Dahlan bersahabat dengan KH Hasyim Asy’ari, maka ada
kemungkinan besar KH Hasyim Asy’ari juga kenal dan bersahabat dengan Maulana
Muhammad Ilyas, karena mereka semua hidup dan pernah menimba ilmu di kota suci
dalam kurun waktu yang hampir bersamaan.
Dari foto/gambar KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim
Asy’ari yang beredar di masyarakat, mereka berdua selalu digambarkan sebagai
sosok berjenggot yang selalu mengenakan surban dan gamis, pakaian yang sekarang
kayaknya asing dan jarang digunakan oleh para aktivis kedua gerakan tersebut,
kecuali mungkin oleh sedikit kyai pesantren yang tinggal di kampung (mungkin
dianggap tidak substansial?).
Sementara gambar/foto Maulana Ilyas sendiri,
sejauh ini tidak ada yang diedarkan (beliau juga tidak menghendakinya). Tetapi,
kalau kita dilihat dari para aktivis gerakan yang beliau perintis dan dari
buku-buku yang ditulis tentang beliau, penampilan beliau sehari-hari saya kira
juga tidak akan jauh berbeda dari kedua tokoh tersebut.
Dari nama gerakan yang dipakai oleh ketiga
gerakan tersebut juga menunjukkan semangat yang sama untuk menghidupkan kembali
agama sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Muhammadiyyah, secara
harfiyah dapat diartikan sebagai pengikut Muhammad. NU (Nahdlatul Ulama) secara
harfiah bermakna kebangkitan para ulama. Ulama sendiri, sebagaimana disebutkan
dalam hadits, adalah pewaris para nabi dan penghulu para nabi adalah nabi
Muhammad SAW.
Sedangkan nama Jamaah Tabligh tidak lah
diberikan oleh Maulana Ilyas sendiri, nama ini diberikan oleh orang lain.
Maulana Ilyas sendiri tidak memberikan sebuah nama pun untuk gerakan beliau,
seandainya harus ada nama, maka beliau lebih suka memberi nama gerakan ini
dengan nama “Harakatul Iman” (Gerakan Iman).
Kisah di atas adalah sekelumit contoh kecil
mengenai hubungan dan persentuhan antar tokoh tiga gerakan Islam tersebut. Jika
penelusuran dilakukan lebih mendalam, maka penulis yakin, antar tokoh-tokoh
gerakan Islam bisa ditemukan persentuhan yang lebih luas lagi.
Gambaran sementara orang bahwa hubungan antar
berbagai gerakan Islam adalah tidak harmonis, tidak bisa bekerja sama dan saling
bertentangan sama lain adalah gambaran yang terlalu dibesar-besarkan. Para tokoh
pendiri gerakan sendiri memberi teladan yang sangat baik bagaimana mereka harus
bergaul dan saling menghormati satu dengan lainnya.
Sekarang ini kita hidup di jaman global dimana
kita tidak mungkin hidup dalam sebuah enclave yang tertutup. Untuk memenuhi
kebutuhan hidup di dunia ini kita harus berhubungan dengan orang lain, yang
berasal dari negara, agama, bangsa dan bahasa yang berbeda. Maka untuk
kepentingan menghidupkan kembali agama, kebutuhan untuk kerjasama satu dengan
lainnya mesti lebih dibutuhkan lagi, tanpa kita harus menanggalkan identitas dan
ciri khas kita masing-masing.
Dua buah contoh sederhana dalam hal ini
mungkin bisa disebutkan disini. KH Hasyim Muzadi, ketua PB NU yang sering
digambarkan sangat kritis terhadap gerakan Transnasional, entah dilakukan secara
sadar atau tidak, dalam sebuah kolomnya di harian Kompas pada bulan Ramadhan
tahun 2006, pernah mengutip pendapat dari sebuah kitab yang dijadikan pegangan
oleh para aktivis Jamaah Tabligh di seluruh dunia, yaitu kitab Fadhilah Amal-nya
Maulana Zakariyya Kandahlawy. Beliau mengutip dari buku itu dalam konteks
pentingnya kita memanage waktu dalam kehidupan kita, terutama kaitannya dengan
bulan Ramadhan.
Sementara itu di Yogyakarta, seorang cucu KH
Ahmad Dahlan, Muhammad Iftironi, juga aktif di kegiatan Masjid Ittihad, Jalan
Kaliurang Km 5,5, markaz Tabligh di Yogyakarta, beliau juga sering melakukan
perjalanan dakwah keliling dari satu masjid ke masjid yang lain. Dalam kehidupan
sehari-hari, beliau juga lebih sering tampil dengan pakaian “kebesaran” seperti
kakeknya, yaitu berbaju gamis dan bersurban. Pak Iftironi insya allah juga
sedang belajar untuk menjadi pengikut Nabi Muhammad (Muhammadiyah) sejati
seperti dulu yang dilakukan oleh kakeknda tercinta.
Contoh-contoh kecil semacam itu saya kira
cukup menyejukkan dan seharusnya bisa dikembangkan lebih luas lagi dalam
kehidupan sehari-hari. Kalau ketiga pendiri gerakan tersebut bisa saling
bersahabat dan berteman satu sama lain, maka tidak ada alasan bagi kita untuk
tidak mencontohnya.
Tantangan bagi umat Islam untuk bangkit
kembali sangat berat, baik dari internal maupun eksternal. Maka saat ini
bukanlah waktu yang tepat bagi kita untuk saling membesar-besarkan perbedaan,
saling curiga, mencela dan saling menyebarkan fitnah satu sama lain. Marilah
kita saling berfastabiqul khairat untuk mencari keridloaan Allah SWT. Wallahul
mustaan