Waqidi rah.a menceritakan kisahnya, "Saya
mempunyai dua orang teman, yang satu dari Bani Hasyim, dan yang lain bukan dari
Bani Hasyim. Hubungan kami sangat akrab bagaikan satu badan dengan tiga hati.
Ketika Hari Raya Idul Fitri hampir tiba, saya sedang dalam kesusahan. Istri saya
berkata, 'Kita dapat bersabar dalam setiap keadaan. Akan tetapi, sebentar lagi
hari raya akan datang, sehingga hati saya tidak tahan melihat anak-anak
menangis. Hati saya seperti hancur apabila melihat anak-anak kita mengenakan
pakaian yang usang dan compang-camping, sedangkan anak-anak tetangga berpakaian
baru dan mengenakan perhiasan yang bagus untuk hari raya. Demi anak-anak, saya
harus dapat mencari sesuatu dan membuatkan baju untuk mereka.' Begitu mendengar
perkataan istri saya itu, saya menulis surat kepada teman saya yang berasal dari
Bani Hasyim. Di dalamnya saya menulis tentang keadaan saya yang sebenarnya.
Kemudian ia mengirimkan satu kantong berisi uang seribu dirham kepada saya dan
menyuruh saya agar menggunakan uang tersebut untuk keperluan saya. Pada saat
saya hampir menikmati pemberian hadiah yang sangat berharga tersebut, datanglah
sepucuk surat dari teman saya yang lain. Dalam surat tersebut, ia menceritakan
keadaannya yang sesungguhnya, dan ia meminta bantuan saya, sehingga saya
mengirimkan uang seribu dirham itu kepadanya. Karena malu, saya tidak langsung
pulang ke rumah, tetapi menginap di masjid selama dua hari berturut-turut.
Kemudian, pada hari ketiga, pulanglah saya ke rumah, dan saya menceritakan semua
kejadian tersebut kepada istri saya. Ternyata istri saya tidak marah dan tidak
mengeluh, bahkan sangat senang dengan perbuatan saya itu, katanya, 'Engkau telah
melakukan perbuatan yang terbaik.'
Ketika kami sedang duduk berbincang-bincang,
teman saya yang berasal dari Bani Hasyim datang dengan membawa kantong tersebut
dan bertanya kepada saya, 'Katakanlah dengan sebenarnya kisah tentang kantong
uang ini.' Saya pun menceritakan kisah yang sebenarnya. Setelah itu, teman saya
yang berasal dari Bani Hasyim berkata, "Ketika suratmu datang, saya tidak
mempunyai uang kecuali ini, yang kemudian saya kirimkan kantong uang ini
kepadamu. Setelah itu, saya menulis surat kepada teman kita yang satu lagi.
Sebagai jawaban, ia mengirimkan kantong ini kepada saya. Saya merasa heran,
karena kantong ini saya kirimkan kepadamu, lalu bagaimana bisa sampai kepada
teman kita yang satu lagi. Karena itu, saya datang untuk mengetahui persoalan
yang sebenarnya.' Akhirnya, kami berikan uang seratus dirham dari uang tersebut
kepada istri saya, dan yang sembilan ratus dirham kami bagi bertiga. Ketika
kejadian ini terdengar oleh Khalifah Makmun Ar-Rasyid, ia memanggil saya dan
ingin mendengar semua kisahnya. Setelah mendengar kisah tersebut, Makmun
Ar-Rasyid memberi saya uang tujuh ribu dirham. Kemudian, uang tersebut saya
berikan kepada istri saya sejumlah seribu dirham, sedangkan yang enam ribu
dirham kami bagi bertiga." ( Kitab Ithaf )