Pahala mengamalkan satu sunnah pada bulan
Ramadhan sama dengan pahala beramal wajib di luar Ramadhan. Dan pahala
menunaikan satu amalan wajib pada bulan Ramadhan sama dengan pahala menunaikan
tujuh puluh amalan wajib di luar bulan Ramadhan. Berkenaan dengan hal ini, kita
hendaknya memikirkan keadaan ibadah kita. Dalam bulan keberkahan ini hendaknya
kita berpikir, sejauh manakah perhatian kita dalam menyempurnakan kewajiban dan
menambah amalan suhnah. Perhatian kita terhadap amalan fardhu pada saat ini
adalah demikian : Kebanyakan di antara kita meneruskan tidur setelah sahur,
sehIngga mengqadha’ shalat
Shubuh, setidak-tidaknya tertinggal shalat berjamaah. Seolah-olah inilah syukur
kita, ibadah wajib yang sangat perlu diperhatikan malah kita qadha’ atau paling tidak kita menguranginya.
Padahal, para ahi ushul berpendapat bahwa shalat tanpa berjamaah adalah suatu
kekurangan, bahkan Nabi saw. bersabda bahwa seolah-olah tidak sah shalat mereka
yang tinggal di sekitar masjid, kecuali di masjid. Tertulis di dalam
Mazhahiril-Haq bahwa barangsiapa shalat tanpa berjamaah tanpa udzur, maka
kewajiban shalatnya sudah terpenuhi, namun pahala shalatnya tidak ia dapatkan.
Demikian juga dengan shalat Maghrib. Biasanya, ketika itu orang sedang sibuk
berbuka puasa, sehingga tidak perlu dibicarakan lagi tentang orang-orang yang
tertinggal rakaat pertama atau takbir pertama. Mengenai shalat Isya, karena
beranggapan untuk mengganti kebaikan-kebaikan pada shalat Tarawih, banyak yang
shalat Isya sebelum waktunya.
Demikianlah amalan kita pada bulan Ramadhan.
Karena ingin menunaikan satu amalan wajib, tiga amalan wajib lainnya dilalaikan.
Inilah yang paling sering terjadi. Sedangkan shalat Zhuhur, karena tidur sebelum
Zhuhur (qailulah), kita tertinggal shalat berjamaah Zhuhur. Begitu juga dengan
shalat Ashar. Karena sibuk mempersiapkan makanan ifthar, maka tertinggallah
shalat berjamaah Ashar.
Itulah yang semestinya kita pikirkan, sejauh
manakah kita menunaikan kewajiban-kewajiban pada buan Ramadhan yang penuh berkah
ini. Jika yang wajib saja begitu sulit untuk diamalkan, bagaimana dapat
mengamalkan yang sunnah? Shalat Isyraq dan Dhuha pada bulan Ramadhan sering kita
tinggalkan karena tidur. Apalagi shalat Awwabin, karena sibuk berbuka dan
khawatir dengan shalat Tarawih yang panjang, akhirnya shalat Awwabin
ditinggalkan, dan waktu shalat Tahajjud kita juga habis karena digunakan untuk
sahur. Apabila demikian, kapankah ada kesempatan untuk melakukan shalat sunnah.
Semua ini terjadi karena orang-orang tidak memperhatikan atau tidak ingin
mengamalkannya.
Sebuah syair berbunyi:
Jika tidak ada kemauan, beribu-ribu alasan
daput engkau kemukakun.
Namun demikian, betapa banyak hamba Allah yang
sempat memanfaatkan kesempatan yang sangat bernilai ini. Saya melihat sendiri
guru saya, Syaikh Khalil Ahmad (nawwarallahu marqadahu) dalam beberapa bulan
Ramadhan, dalam keadaan lemah dan lanjut usia, ia biasa membaca dan
memperdengarkan satu seperempat juz Al-Qur’an dalam shalat nafil setelah Maghrib.
Kemudian selama setengah jam ia makan dan menunaikan beberapa keperluan.
Biasanya ia shalat Tarawih dan Isya kurang Iebih dua atau dua seperempat jam
ketika di India, dan tiga jam ketika tinggal di Madinah. Lalu ia tidur selama
dua atau tiga jam, sesuai dengan musimnya. Setelah itu ia membaca
Al-Qur’an di dalam Tahajjud.
Setengah jam sebelum shalat Shubuh, ia akan makan sahur, kemudian sibuk membaca
hafalan Al-Qur’an atau wirid
hingga Shubuh. Setelah shalat Shubuh dilanjutkan dengan muraqabah sampai Isyraq.
Setelah itu, ia beristirahat lebih kurang satu jam, lalu sibuk menulis
Badzlul-Majhud dalam bahasa Arab (sebuah kitab syarah hadits Abu Dawud) sampai
tengah hari. Setelah itu ia membaca surat-surat dan mendiktekan balasannya (jika
musim panas) hingga pukul 13.00. Kemudian Ia beristirahat kembali hingga tiba
shalat Zhuhur dan membaca Al-Qur’an dan Zhuhur sampai Ashar. Dan dari Ashar sampai Maghrib, ia sibuk
bertasbih dan berbincang-bincang dengan tamu-tamunya.
Ketika penulisan Badzlul-Majhud selesai, ia
mengisi waktunya dengan menelaah kitab-kitab agama dan membaca
Al-Qur’an. Ketika itu ia
sangat berkonsentrasi terhadap Badzlul-Majhud dan Wafaul- Wafa. Demikianlah
kegiatan tetap kesehariannya pada bulan Ramadhan tanpa ada perubahan. Dan
shalat-shalat sunnah tersebut adalah amal harian yang biasa ia kerjakan, namun
pada bulan Ramadhan rakaatnya lebih diperpanjang.
Para masyaikh lainnya juga sangat
memperhatikan bulan Ramadhan, bahkan lebih hebat lagi, sehingga kita sulit
meneladaninya. Syaikhul-Hindi (Syaikh Mahmudul-Hasan rah.a.) biasa mengenjakan
shalat nafil setelah shalat Tarawih hingga fajar dan mendengarkan bacaan
Al-Qur’an beberapa orang
hafidz secara bergantian. Syaikh Abdurrahim Raipuri sibuk membaca
Al-Qur’an siang dan malam
selama bulan Ramadhan, sehingga ia tidak sempat melakukan surat menyurat atau
menerima tamu. Para khadim dekatnya saja yang diizinkan sejenak menemuinya,
yaitu setelah shalat Tarawih pada waktu minum satu dua cangkir teh.
Maksud saya menceritakan amalan para masyaikh
dalam menghabiskan bulan Ramadhan ini bukan sekadar untuk bahan bacaan atau
menyebarkan pemikiran, tetapi bertujuan untuk mendorong kita agar mengikuti
mereka sesuai kemampuan yang ada. Betapa beruntung orang yang tidak bergantung
pada kesibukan dunia dan berusaha memperbaiki kehidupannya dalam bulan ini,
setelah melewati sebelas bulan lainnya dengan sia-sia.
Bagi orang yang biasa bekerja dan jam 08.00
hingga 16.00, tentu tidak memberatkan jika pada bulan Ramadhan dari Shubuh
sampai jam kerja waktunya digunakan untuk membaca Al-Qur’an. Meskipun sibuk dengan urusan dunia,
kita tetap memiliki waktu untuk membaca Al-Qur’an, bahkan pada jam kerja sekalipun.
Bagi yang sibuk di pertanian yang tidak bekerja atas perintah orang lain, jelas
tidak ada penghalang untuk membaca membaca Al Qur’an ketika bekerja di sawah. Ia bebas
menggunakan waktu kerjanya. Sambil duduk-duduk, ia dapat membaca
Al-Qur’an. Demikian pula
dengan pedagang; pada bulan Ramadhan, setidaknya mereka dapat mempersingkat jam
kerjanya atau paling tidak menunggu dagangannya sambil membaca
Al-Qur’an. Bagaimanapun, ada
hubungan yang erat antara Ramadhan dengan Al-Quran.
Oleh sebab itu, hampir semua Kitabullah
diturunkan pada bulan ini. Begitu pula Al-Qur’an telah diturunkan dari Lauhul-Mahfuzh
ke langit dunia pada bulan Ramadhan. Lalu diturunkan berangsur-angsur menurut
kejadiannya dalam masa kurang lebih 23 tahun. Selain itu, Ibrahim a.s. telah
menerima shuhufnya (kitab suci) pada tanggal 1 atau 3 Ramadhan. Dawud a.s.
menerima Zabur pada tanggal 18 atau 12 Ramadhan. Musa as. menerima Taurat pada
hari ke-6, Isa a.s. menerima Injil pada hari ke-13. Dari sini dapat diketahui
adanya hubungan yang erat antara kitab Allah dengan Ramadhan. Oleh karena itu,
hendaknya kita membaca Al-Qur’an sebanyak mungkin pada bulan ini. Demikianlah kebiasaa
waliyullah. Jibril a.s. pun membacakan seluruh Al-Qur’an kepada Muhammad saw. pada bulan
Ramadhan. Riwayat lain menyatakan Nabi saw. yang membaca dan Jibril a.s.
mendengarkannya.
Dengan menggabungkan riwayat-riwayat tersebut,
para ulama menyatakan bahwa mustahab (sangat dianjurkan) membaca Al dengan cara
seperti itu (seorang membaca, yang lain mendengarkan secara bergantian). Bacalah
Al-Qur’an kapan saja ada
kesempatan, dan waktu yang lain jangan disia-siakan.
(Kitab "Fadhillah Amal" Fadhillah Ramadhan
yang disusun oleh Maulana Muhammad Zakaria Al-Khandalawi RA)